Friday, October 10, 2008

Artikel MBW Edisi Oktober - Nopember 2008


Kaum Bapak di Gereja HKI
(oleh: Pdt. M. Lumban Gaol, S.Th - Ka.Dep. Marturya)

Pengantar:
Tri tugas Pangilan Gereja: Kesaksian (Marturya), Persekutuan (Koinonia) dan Pelayanan (Diakonia) kebanyakan dipandang sebagai tugas para pelayan Gereja semata. Benarkah demikian ? Mungkin saja pendapat ini benar, namun adalah ketika masa gereja mula-mula dimana semuanya masih bersifat rasul sentris. Namun mengingat perjalan gereja dari masa jemaat mula-mula hingga sekarang hampir mencapai 3000 tahun, masihkah pendapat seperti itu masih dipertahankan ? Tentu saja kita setuju mengatakan: TIDAK. Jelas sekali sebagaimana dalam Surat 1 Petrus 2:9 dikatakan: "Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib". Bukankah ini merupakan suatu pemaklumatan bahwa semua umat percaya harus mengambil peran dalam memberitakan Perbuatan Besar Allah bagi dunia ini. Lalu dimana kaum bapak (Ama) HKI sehingga salah satu pelaksanaan tugas Kesaksian (Marturya) yang paling mudah saja tidak bisa dilakukan untuk menampakkan Persekutuan (Koinonia), lewat kehadiran di Gereja?
Banyak orang berfikir, bahwa melaksanakan tugas "Bersaksi" adalah dengan Pergi ke luar memberitakan Injil seperti para missionaris atau penginjil dahulu atau menjadi Pelayan Gereja yang akan memberitakan Injil (berkhotbah) dari atas mimbar. Pemahaman ini terlampau dangkal !

Kaum Bapak Sebagai Tulang Punggung Keluarga.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam budaya Paternalistik, kaum bapaklah yang menjadi penanggungjawab dan tulang punggung keluarga. Tentu tugas ini sangat memeras tenaga, waktu dan pikiran. Hal ini sering menjadi alasan klasik dari kaum bapak untuk tidak hadir di Gereja dan mengambil "Waktu Peristirahatan Allah" ini juga menjadi waktu peristirahatannya dengan kumpul-kumpul bersama teman di kedai, atau pergi memancing atau yang lainnya. Juga ada yang mengambil waktu ini sebagai waktu mencari rejeki karena pada hari minggu katanya rejeki lebih banyak dari hari-hari biasa. Secara tidak sadar hal ini telah menjadi "contoh" yang tidak baik yang ditiru oleh anak-anak (secara khusus laki-laki). Hal ini dapat dilihat dari persentase kehadiran remaja/pemuda di gereja, bahwa jumlah perempuan jauh lebih banyak dibandingkan yang laki-laki.
Dengan ini jelas, bahwa dampak dari ketidak hadiran kaum bapak di Gereja (dengan berbagai alasan klasik) sebenarnya secara tidak langsung telah membuat generasi muda semakin jauh dari gereja. Pada hal, sebagaimana tradisi umat Allah, bahwa para bapak adalah imam dalam keluarga yang bertanggungjawab memimpin keluarganya untuk takut dan percaya kepada Allah.
Kaum bapak sering melupakan tanggungjawab yang sudah di "janjikan" nya dalam Pemberkatan Nikah: Bahwa dialah sebagai kepala rumah tangga, sebagaimana Kristus kepala jemaat; yang menuntun umatnya untuk mengasihi Allah, sehingga umat memperoleh kehidupan yang dijanjikan Allah.

Punguan Ama (Kelompok Koor) Yang Timbul Tenggelam
Salah satu upaya yang dilakukan gereja untuk menarik minat kaum Bapak datang beribadah ke Gereja adalah dengan memfasilitasi mereka menyalurkan bakat bernyanyi dalam Kelompok Koor. Memang dari sudut estetik nyanyian, kemerduan suara kaum bapak yang memadukan suara Alto, Tenor, Sopran dan Bas sungguh mempesona. Sungguh berbeda keindahan Paduan ke 4 jenis suara ini dibanding kan hanya 3 jenis suara yang dinyanyikan kaum ibu maupuin naposo. Persoalannya adalah, kelompok paduan suara ini jarang bertahan lama (kebanyakan paling lama 6 bulan), kemudian hilang lagi. Baru muncul setelah ada rencana kegiatan Festival atau ada event penting (misalnya acara Natal, dll). Sering terdengar suara sumbang dari kaum ibu bila kelompok Koor ini muncul kembali, "molo nga habis gogo ni jagal biang i, modom do muse punguan ama i". Ini muncul, karena banyak kelahiran kembali kelompok koor Ama selalu didahului/dibuka dengan makan B1. Pada hal, sebenarnya begitu banyak peserta kebaktian Gereja merasakan suasana yang lain dan membuat mereka suka ke gereja karena adanya koor Ama. Artinya, koor Ama menjadi salah satu alat yang telah mengundang orang datang ke gereja. Bukankah ini sudah merupakan salah satu bentuk Pelayanan (Diakonia) yang mengundang orang untuk Bersekutu (Koinonia) dan menjadikan kelompok koor itu menjadi alat Kesaksian (Marturya) ?

Peraturan Pokok Punguan Ama HKI
Dalam mewadahi kaum bapak, di Gereja HKI dibentuk Persekutuan sebagaimana kelompok Kategorial lainnya, yang disebut Punguan Ama. Secara tradisi dianggap hanya par-koor ama saja yang masuk Punguan Ama. Namun dalam Peraturan Pokok Punguan Ama HKI BAB V pasal 6 menyebutkan: Anggota lembaga PA-HKI adalah seluruh kaum bapak di HKI yang mendaftarkan diri menjadi PA HKI
Peraturan Pokok Punguan Ama adalah KETETAPAN MAJELIS PUSAT HURIA KRISTEN INDONESIA (HKI) Nomor: 387/XI.A/MP/2003. Dalam Pembukaan Peraturan ini disebutkan: PA HKI adalah lembaga wadah persatuan kaum bapak di dalam tubuh Gereja HKI. Sebagai lembaga di dalam tubuh gereja HKI maka Punguan Ama mempunyai tugas panggilan yang penuh sebagai bagian persekutuan Gereja HKI. Sebagai lembaga dalam tubuh HKI, PA adalah wadah kesaksian, persekutuan dan pelayanan kaum bapak untuk menyaksikan dan menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, berupa kasih, keadilan dan damai sejahtera untuk pembebasan, pemulihan dan perbaikan kehidupan manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Alkitab (Matius 25:40, 28:19-20, Markus 16:15, Yohanes 13:15, 17-18, 20:21, Kis.Rasul 1:8, I Kor.13:13).
Melihat peraturan tersebut, jelas bahwa sebenarnya Punguan Ama di HKI dipandang sebagai salah satu alat pelayanan gereja dan turut dalam tri tugas panggilan gereja.
Peranan Kaum Bapak di Gereja HKI
Melihat kehadiran kaum bapak disetiap kebaktian (baik di Gereja maupun di Partangiangan) yang sungguh jauh kalah dibandingkan kaum ibu, dimungkinkankah dimasa datang kaum perempuan akan mengambil alih semua (mayoritas) peran di Gereja ? Tapi baiklah kita tidak terlalu berlama-lama mempersoalkannya. Biarlah fakta itu menjadi satu dorongan bagi kaum bapak mulai sekarang untuk lebih memberi waktu dan perhatian untuk hadir dan aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja.
Yang pasti, sebagaimana diusulkan dalam Sinode HKI ke 58 yang baru berlangsung, kaum bapak (Punguan Ama,red) harus lebih aktif untuk mempelopori pendirian gereja HKI di tempat-tempat strategis. Tapi bagaimana caranya, bila Punguan Ama sendiri tidak aktif ? Atau perlukah, dalam tahun 2009 ini, semua jemaat HKI melakukan pesta Parheheon Ama supaya semua Punguan Ama beraktifitas kembali ?
Sungguh, kehadiran dan partisipasi aktif kaum bapak ditengah-tengah gereja sungguh dinantikan. Begitu banyak kursi-kursi yang telah disediakan untuk kaum Ama yang kosong, mungkin sudah "rambangon". Begitu banyak biaya, tenaga dan waktu yang sudah terbuang untuk membangun dan melengkapi sebuah gedung gereja, tetapi bangku-bangku untuk kaum bapak tersiasiakan.
Kehadiran kaum bapak dalam kebaktian (di gereja dan partangiangan) sesungguhnya memberi peran yang besar: menjadi kesaksian bagi orang-orang muda bahwa memang ALLAH yang adalah Bapa dalam Yesus Kristus patut dihormati. Lantunan Koor Ama, sungguh menjadi daya tarik untuk menghadirkan kerinduan jemaat datang beribadah. Apalagi bila kaum Ama dapat melaksanakan seperti apa yang dituangkan dalam Peraturan Punguan Ama HKI, dampaknya pasti sungguh luar biasa: tanda-tanda Kerajaan Allah telah hadir di dunia akan semakin jelas. Satu dari kata-kata bijak yang sangat penting kita perhatikan: Sukses dicapai dengan kata "Aku bisa", kegagalan seringkali disebabkan kata "Aku tidak bisa"

SAATNYA MERAYAKAN NATAL DENGAN
POHON NATAL HIDUP UNTUK MENYELAMATKAN
BUMI DAN KEHIDUPAN DARI MALAPETAKA PEMANASAN GLOBAL
Oleh : Pdt. Firman Sibarani, MTh
Ketua Konven Pendeta HKI

1. Pengantar
Hari Natal segera datang kembali. Umat Kristen di seluruh dunia mulai membicarakannya dan mengadakan persiapan, dari pembentukan panitia, latihan koor dan liturgi, hal makanan dan minuman, pakaian, dekorasi, kegiatan sosial maupun kegiatan lainnya. Umumnya umat Kristen Indonesia memulai persiapan ini segera setelah merayakan hari kemerdekaan Nusa dan bangsanya Indonesia, tanggal 17 Agustus setiap tahunnya.
Perayaan natal tahun ini akan berlangsung saat dimana bumi kita sedang dilanda pemanasan global.yang semakin menyengat. Bangsa-bangsa, berbagai organisasi masyarakat, organisasi agama termasuk gereja, sampai perusahaan maupun perorangan banyak membicarakan tentang ancaman malapetaka yang akan diakibatkan pemanasan global serta bagaimana tindakan penyelamatan bumi dan kehidupan. Ada yang sudah melakukan tindakan nyata untuk penyelamatannya.
Hari natal adalah hari kedatangan Yesus Kristus ke bumi untuk membawa keselamatan bagi umat manusia. Ia membawa keselamatan yang holistik (rohani dan jasmani).
Perayaan natal tahun ini menjadi saat untuk menyelamatkan bumi dan kehidupan dari ancaman malapetaka yang diakibatkan pemanasan global sehingga ada damai sejahtera. Bagaimana penyelamatan itu dilaksanakan adalah dengan memakai pohon natal hidup menggantikan pohon natal mati (plastik).

2. Pohon Natal
Hari natal tidak dapat dipisahkan dari aksesoris pohon natal. Natal sudah menyatu dengan pohon natal. Pohon natal adalah bagian dari natal itu sendiri. Dapat dikatakan tiada natal tanpa pohon natal. Dimana ada perayaan natal di situ ada pohon natal.
Sudah mentradisi di Indonesia sebagaimana di seluruh dunia bahwa pohon natal adalah figurasi dari pohon cemara. Bagaimana itu menjadi tradisi tidak tugas penelitian dalam tulisan ini. Mengapa masih memakai pohon cemara yang berlatarbelakang Eropa dan mengapa bukan pohon lain yang sangat dekat dengan kehidupan orang Indonesia, bukan pula menjadi pembahasan. Apa yang dipersoalkan ialah mengapa pohon natal mati ? Padahal pohon natal mati adalah produk industri pabrik. Sementara proses industrialisasi, terutama yang menggunakan bahan bakar fosil adalah penghasil terbesar karbondioksida (CO2) yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Kalau demikian mengapa bukan pohon natal hidup ? Maksudnya, mengapa tidak memakai pohon cemara hidup ?

3. Sejarah Pohon Natal : Awalnya Dari Pohon Hidup
Konon tradisi pohon natal dimulai pada abad ke 8 ketika Santo Bonifasius dari Inggris berkeliling Eropa khususnya Jenewa sebagai pekabar Injil. Penduduk di daerah –daerah yang dia lalui belum percaya kepada Allah yang datang ke bumi dalam kasih dan kelemahlembutan. Sementara kehidupan mereka sehari-hari berlaku kasar dan kejam.
Pada suatu malam Bonifasius melihat seorang anak kecil diikat di pohon Ek untuk dibunuh dan dipersembahkan kepada dewa-dewa. Bonifasius berteriak : "tunggu, saya yakin Allah sorga dan bumi tidak menghendaki anak ini dibunuh. Saya memberitakan kepada kamu seorang bernama Yesus, yang datang dari sorga ke bumi ratusan tahun yang lalu. Ia telah menunjukkan kasih dan kelemahlembutan Allah !" Lalu mereka membiarkan Bonafasius membuka tali pengikat dan membebaskan anak itu. Kemudian mereka menebang pohon Ek tersebut. Didekat pohon Ek itu ada pohon cemara kecil. Bonifasius berkata : "pohon cemara ini adalah lambang kepercayaanmu yang baru, yaitu kepada Yesus Kristus, juruselamat dunia".
Kisah Marthin Luther juga mengambil pohon cemara pada bulan Desember tahun 1540. Ia memasang beberapa lilin di pohon itu pada hari natal sebagai lambang terang dan hidup.
Mulai pertengahaan abad ke 19 tradisi memasang pohon natal dipermaklumkan oleh Pangeran Albert, suami dari ratu Victoria di Ingggris dan dari sana meluas ke seluruh dunia.
4. Bumi dan Kehidupan Dalam Ancaman Malapetaka Pemanasan Global.
Suhu permukaan bumi mengalami peningkatan. Berbagai penelitian mengenai dinamika iklim global menunjukkan bahwa paling tidak dunia telah mengalami pemanasan lebih dari 30 C semenjak zaman praindustri. Peningkatan suhu di seluruh dunia ini disebut pemanasan global (global warming).
Pemanasan global berdampak pada banyak hal, mulai dari mencairnya lapisan es di kutub dan di atas gunung hingga perubahan iklim. Perubahan iklim ini sungguh merupakan ancaman yang amat buruk bagi bumi dan kehidupan kita bersama.
Dari foto satelit yang dikeluarkan program lingkungan PBB (UNEP) tahun 2006 menunjukkan pengurangan drastis es di puncak gunung Kilimanjaro, Tanzania dibandingkan dengan foto yang dikeluarkannya tahun 1976. UNEP pada 10 Juni 2008 juga menerbitkan atlas yang memuat foto-foto yang menunjukkan perubahan drastis akibat pemanasan global di negara-negara Afrika. Dampak pemanasan global ini terjadi di semua belahan bumi, seperti di Eropa dengan kepunahan spesies yang semakin meluas, di Amerika Utara dengan gelombang panas yang semakin menyengat. Sekalipun tanpa mengadakan studi sudah terasa bahwa Berastagi, Tarutung, Bukit Tinggi, Lembang, Cipanas, Bandung drastis berkurang sejuk dan dinginnya karena naik suhunya, bahkan sudah menjadi panas.
Menurut Deputi menteri Lingkungan Hidup Indonesia bidang Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Lingkungan, Masnerliyati Hilman bahwa akibat pemanasan global, permukaan laut Indonesia naik 0,8 cm pertahun dan berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau nusantara hampir 1 m dalam 15 tahun ke depan.
Topan terjadi disebabkan tingginya temperatur permukaan air laut. Pemanasan global menyebabkan kenaikan suhu permukaan air laut. Jika permukaan air laut semakin panas, bahaya topan semakin mengancam. Ingat topan nargis yang melanda Myanmar beberapa waktu lalu, yang menewaskan 80.000 jiwa dan 50.000 jiwa hilang serta lebih 2 juta orang kehilangan tempat tinggal.
Pemanasan global juga menyebabkan tanah longsor, banjir dan kekeringan bahkan berbagai penyakit bagi kehidupan manusia. Sungguh mengerikan, pemanasan global mendatangkan malapetaka bagi bumi dan kehidupan.

5. Dengan Pohon Natal Hidup, Kita Menyelamatkan Bumi Dan Kehidupan
Sebagaimana pohon natal adalah bagian dari natal, pohon natal hidup (bukan pohon atau tangkai yang ditebang) adalah bagian dari penyelamatan dalam natal. Natal yang adalah peristiwa datangnya Yesus Kristus menyelamatkan manusia dari neraka akibat dosa (bd. 1 Timotius 1 :15), pohon natal hidup adalah bakti natal yang menyelamatkan manusia dari malapetaka (neraka) akibat pemanasan global. Apa keselamatan dari pohon natal hidup itu akan dijelaskan berikut ini.
a. Menyelamatkan Bumi Dan Kehidupan Dari Sengatan Panas Gas Rumah Kaca
Gas rumah kaca adalah gas –gas yang di atsmofer terutama karbondioksida. Disebut gas rumah kaca karena sifatnya seperti atap rumah kaca. Gas itu menyerap sinar matahari, tetapi menghalangi energi yang seharusnya kembali ke angkasa. Panasnya terjebak dalam atsmofer dan menyebabkan suhu bumi meningkat.
Dengan pohon natal hidup kita akan menyelamatkan bumi dan kehidupan dari sengatan panas gas rumah kaca. Pohon natal hidup sebagaimana pohon hidup lainnya menyerap karbondioksida (gas rumah kaca). Karena gas rumah kaca berkurang maka pemanasan global menurun. Dampak positip penurunan pemanasan global hingga stabilnya (normalnya) iklim bumi akan mengurangi dan menghindari malapetaka yang mengancam bumi dan kehidupan kita bersama. Berikut ini dimuat foto proses penyerapan CO2 atau gas rumah kaca oleh pohon hidup (sumber : Harian Kompas, 13 Desember 2007).

b. Menyelamatkan Bumi Dari Pencemaran Dan Kerusakan
Pohon natal mati yang terbuat dari bahan anorganik seperti plastik, logam atau besi dapat menjadi penghasil sampah yang sering dibuang begitu saja.
Sampah anorganik sangat berdampak mencemarkan lingkungan dan merusak tanah. Tetapi dengan pohon natal hidup kita sudah menghindari pencemaran lingkungan dan kerusakan tanah. Kita juga telah ikut melestarikan lingkungan, memperbaiki dan menyuburkan tanah. Pohon natal hidup dan sampahnya berguna untuk memperbaiki dan menyuburkan tanah.

c. Membawa Damai Sejahtera Di Bumi
Pohon natal hidup yang tumbuh di rumah, didalam atau di halaman gereja, di lingkungan kantor atau dimana saja akan membawa damai sejahtera di bumi. Dengan berkurangnya pemanasan global, dan adanya lingkungan yang lestari, tanah yang baik dan subur maka bumi menjadi lebih aman, lebih nyaman dan lebih baik untuk kita huni. Inilah damai sejahtera di bumi yang dibawa pohon natal hidup dalam natal (bd. Lukas 2 :14).

6. Bertindak Nyata
Saatnya semua orang kristen, gereja-gereja bertindak nyata menyelamatkan bumi dan kehidupan dari ancaman malapetaka pemanasan global dengan menanam pohon natal hidup. Semua seruan ; "save the world" , "save the life", "green up our earth", baiklah kita jawab dengan "ya". Kumandang tekad "we do green" baiklah nyata.
Kita jangan menjadi "Orang Kristen NATO", jangan menjadi ‘Gereja NATO" yang "NO ACTION TALK ONLY" (hanya bicara tanpa tindakan). Jangan pula menjadi "Gereja TONA" (Gereja Pesan) yang hanya mengirimkan pesan dari mimbar, dari Sinode Besar. Lebih baik "TALK LESS DO MORE" (bicara sedikit berbuat banyak).
Dengan pohon natal hidup, perayaan natal tahun 2008 dan seterusnya menjadi peristiwa penyelamatan bumi dan kehidupan dari malapetaka pemanasan global.
Jika setiap gereja di Sumatera Utara memakai pohon natal hidup satu batang, maka sudah ada 12.462 batang pohon natal hidup. Jika setiap rumah tangga orang Kristen yang kira-kira 900.000 dari jumlah orang kristen di Sumatera Utara yang berkisar 5.084.761 memakai satu pohon natal hidup maka bertambah pohon natal hidup sebanyak 900.000 batang. Dengan kedua cara bertindak ini saja akan ada 912.462 pohon natal hidup di Sumatera Utara.
Coba bayangkan, jika setiap keluarga orang kristen (rumah sendiri, menumpang atau menyewa) dari milyaran orang kristen di dunia, dan jika setiap gereja di dunia, organisasi/badan gerejawi memakai satu batang saja pohon natal hidup, maka ada ratusan juta pohon natal hidup di bumi. Amazing! Ajaib! Lihatlah, jika semua memakai lebih dari satu pohon natal hidup ditambah pohon pendamping lainnya (misalnya bambu di Indonesia) saat perayaan natal (di dalam ruangan atau di halaman gereja/rumah yang ditata dengan baik bernuansa alami) maka natal yang menyelamatkan bumi dan kehidupan dari ancaman malapetaka pemanasan global menjadi nyata.

TIPS TENTANG POHON CEMARA
  1. Ada beberapa jenis pohon cemara yang banyak dibudidayakan di Indonesia seperti: Cemara Laut, Cemara Kwanda, Cemara Angin, Cemara Elephani, Cemara Kipas.
  2. Bibit atau Pohon Cemara dapat diperoleh di tempat pembudidayaan dan penjualan Bunga/Pohon (Nursery), seperti di Tanjungmorawa.
  3. Pertambahan tinggi Pohon cemara (segala jenis) yang ditanam dalam pot bisa hanya mencapai 1 - 2 m dalam 5 tahun
  4. Cara pemakaian dan pemeliharaan pohon natal hidup dari cemara dalam pot:
  • a. Pohon ditanam dalam pot. Ukuran pot disesuaikan dengan besar dan tingginya pohon.
  • b. Pada waktu natal pohon cemara dalam pot ditaruh di dalam gereja atau di tempat yang diperlukan
  • c. Seusai masa natal pohon tersebut dipelihara untuk dapat dipakai tahun berikutnya sampai 5 tahun atau lebih dengan cara menanamnya bersama potnya di halaman atau dalam pot saja.

Terimakasih.



PANDANGAN PROTESTAN TENTANG GEREJA
KATOLIK DAN RELEVANSINYA DALAM
KERJASAMAOIKUMENE

Oleh : Pdt. Langsung Maruli Sitorus


1. Pendahuluan
Adalah langkah yang tepat, apa yang dilakukan oleh HAK-KAM mengadakan dialog ini, sehingga pergerakan ekumene yang sedang dijalankan gereja-gereja dalam pergaulan mereka memiliki kesadaran yang mendalam dan langkah yang semakin terarah menuju kerjasama dan kebersamaan di masa depan. Harapan kami, bahwa apa yang dikatakan dalam tulisan singkat ini dapat membantu peserta dialog dalam mencapai tujuan kegiatan ini.

2. Batasan
Siapa yang menyebut dirinya Protestan di daerah ini (di Indonesia) pada umumnya adalah para denominasi gereja yang memandang diri mereka mewarisi tradisi reformasi gereja yang terjadi abad 16 di Eropah, yakni reformasi yang dipelopori oleh Dr Martin Luther (di Jerman) dan Dr. Johanes Calvin (di Swiss). Sedangkan para denominasi-gereja yang lain (seperti Anglikan, Methodist, Presbyterian, Pentakosta, Pantekosta, Baptis, Mennonit, Mormon) kurang merasa sreg menyebut dirinya protestan. Mereka lebih senang menggunakan sebutan ‘Kristen’. Demi mengakomodasi pemahaman diri kelompok ini, Dirjend Bimas Kristen Protestan di DEPAG RI, mengubah namanya menjadi Dirjend Bimas Kristen. Tanpa sebutan Protestan lagi. Di antara denominasi gereja protestan, ada denominasi yang pakai sebutan ‘protestan’ dalam namanya dan ada yang tidak menggunakannya. Di antara denominasi protestan itu kita kenal: Yang Lutheran: HKBP, GKPI, GKPS, HKI, GKLI, GPKB, GMB, GPP; sedangkan yang calvinis: GBKP, GPIB, GKI-SU. Pandangan tentang gereja Katolik yang akan disampaikan dalam tulisan singkat ini adalah pandangan denominasi gereja yang Lutheran, karena penulis berlatarbelakang gereja yang Lutheran.

3. Kristen dan Katolik sebagai dua agama di negeri ini dan dampaknya.
Semua orang tahu, bahwa Kristen (dengan semua sekte dan denominasinya) dan Katolik diakui sebagai dua agama di negeri ini. Siapa di antara kelompok ini yang menuntut status sedemikian, tidak perlu dipersoalkan di sini. Yang perlu didiskusikan adalah apa dampak dari pemberian status itu terhadap hubungan kristen (protestan) dan katolik dalam praktek hidup keagamaan di negeri ini? Dalam Hukum Siasat Gereja (HSG) yang dibuat oleh gereja-gereja Protestan (seperti HSG HKI) dikatakan bahwa akan dihitung sebagai pelanggaran terhadap ajaran gereja ini bila seseorang anggotanya ‘menerima dan mempercayai ajaran agama lain", (HSG HKI Pasal 5 ayat I butir e).
Berpedoman kepada butir ini, HKI memperlakukan Katolik sebagai agama lain sehubungan dengan ajaran-ajaran Katolik yang sama sekali ditolak oleh HKI dalam Konfessinya. (HKI adalah satu­-satunya gereja Lutheran di Indonesia yang tidak menuliskan konfessi yang baru baginya, tetapi menyatakan dengan tegas dalam Tata Gerejanya bahwa gereja ini menganut ajaran yang ada dalam Konfessi Apostolis, Konfessi Niceanum. Konfessi Athanasianum dan Konfessi Augsburg 1530) (Lihat: Tata Gereja HKI 1978, 1993, 2005, dalam pasal tentang Pengakuan). Tetapi dalam hal-hal yang sudah saling menerima dan saling mengakui (dalam perjalanan sejarah, tanpa ada pernah dialog yang resmi untuk itu), HKI tidak melihat Katolik sebagai suatu ‘agama yang lain’. RPP HKBP yang ditetapkan Rapat Pendeta HKBP di Sipoholon, 9-14 Nopember 1987, dalam bagian VI. "Hajongjongan maradophon Parugamo Na Asing dohot Huria na Mamulik Dohot Bidat" tidak disebutkan sikap HKBP terhadap Katolik. Yang ditekankan pada butir 1 bagian VI itu adalah: ‘Siradotan ni Huria do manjaga kerukunan antar umat beragama, maradophon parugamo na asing di bagasan negaranta na berdasarkan Pancasila’.
Rumusan ini membuka sikap membangun keruk-unan antar umat beragama antara umat HKBP dan Katolik sebagai bagian dari dua agama yang diakui sah di Indonesia. Setelah PBM 2006 diberlakukan di Indonesia, mungkin status Kristen dan Katolik sebagai dua agama yang resmi di Indonesia dapat digunakan oleh kedua belah pihak untuk saling membantu. Saling membantu itu terutama dapat dilakukan dalam hal memenuhi 60 orang (ber-KTP) jumlah pedukung suatu rumah ibadat yang hendak dibangun. Kalau dukungan-dukungan seperti itu dipandang sangat sulit diperoleh dari pihak beragama lain (misalnya dari Islam), diharapkan kaum Kristen akan memberikan dukungan sepenuhnya untuk pembangunan rumah ibadat Katolik di daerah mereka, dan kaum Katolik akan memberikan dukungan sepenuhnya untuk pembangunan rumah ibadat Kristen di daerah mereka. Status Kristen dan Katolik sebagai dua agama di Indonesia telah memungkinkan wajib adanya paling sedikit dua orang wakil pengikut Kristus di FKUB di suatu kabupaten/kota yang jumlah Katolik dan Kristen di sana hanya sejumlah hitungan jari. Satu wakil Katolik dan satu wakil Kristen. Dua orang wakil seperti itu diharapkan dapat saling kerjasama untuk memperjuangkan kepentingan pengikut Kristus di daerah tersebut.
Pengalaman di Sumatera Utara menunjukkan, bahwa walaupun Kristen dan Katolik dinyatakan sebagai dua agama, dua ‘agama’ ini dapat ‘menyatukan pikiran’ dalam apa yang dikenal sebagai Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG) atau Badan Musyawarah Antar Gereja (BMAG) di Kabupaten/Kota atau dalam Forum Komunikasi dan Konsultasi Gerejawi Sumatera Utara (FKKGSU) di tingkat propinsi. Apa yang dapat dicapai melalui ‘kebersatuan" ini, tampaknya masih berupa perayaan bersama untuk hari-hari besar Kristen/Katolik (seperti Natal dan Paskah). Badan yang merupakan ‘penyatuan pikiran’ ini tidak mungkin dibuat sebagai organisasi berbadan hukum, karena di dalamnya bertaut badan-­badan /lembaga gerejawi yang sudah berbadan hukum, bahkan diakui sebagai dua agama. Tetapi ada kemungkinan badan seperti ini dapat lebih diintensifkan menjadi wadah pengarah untuk aksi bersama mengatasi masalah-masalah sosial.


4. Pandangan Protestan tentang Gereja Katolik
Sebagaimana disinggung di atas, Huria Kristen Indonesia (HKI) merupakan gereja lutheran yang memegang Konfessi Augsburg 1530, sebagai konfessinya, sebagai garis-garis besar kesaksian iman kepercayaannya. Kita tahu konfessi ini adalah konfessi yang diajukan oleh kelompok reformasi kepada kaisar Karel V tanggal 25 Juni 1530, dalam menjawab keinginan kaisar tersebut untuk membangun persatuan dan kesatuan pengikut Kristus di seluruh daerah kekaisarannya dalam mengahadapi serangan-serangan Turki yang sudah memasuki Eropah. Dibalik pengajuan konfessi itu ada keinginan agar ‘hal-hal yang menimbulkan perselisihan antara kami.... dapat diselesaikan dengan cara persaudaraan, maka dengan demikian kedua belah pihak dapat dipersatukan kembali dalam satu agama yang benar, sebagaimana kita semua berada di bawah satu Kristus dan harus berjuang mengakui Kristus.’ (KA 1530, terbitan HKI tahun 1978, h.12). Konfessi ini tidak menyebut "Gereja Katolik" sebagai counter partnya, tetapi ada beberapa pasal isi konfessi ini menyatakan tidak setuju kepada beberapa pokok ajaran dan praktek iman yang diajarkan dan dipraktekkan gereja am waktu itu.
Dengan berpedoman kepada konfessi ini, HKI (sebagai gereja Lutheran) memandang Gereja Katolik (sebagai pewaris gereja am) berdasarkan isi konfessi tersebut, sebagaimana juga gereja-gereja Lutheran sedunia bersikap kepada gereja Lutheran. Perubahan pandangan terhadap gereja katolik sangat banyak ditentukan oleh hasil dialog Lutheran World Federation dengan Gereja Katolik yang berpusat di Roma, dan hasil pergaulan antara gereja Lutheran dengan gereja Katolik di negeri ini.
Di antara gereja Lutheran yang ada di Indonesia, khususnya HKBP, membuat konfessinya sendiri, guna memberikan jawaban kontekstual dalam menjalankan kesaksian (PI) mereka di Indonesia. Konfessi HKBP itu terkenal sebagai "Pengakuan iman Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Tahun 1951". Alasan pertama pembuatan konfessi ini dikatakan: "Disebabkan oleh hal-hal yang mendesak di dalam Gereja kita, perlu pada masa ini pemikiran ulang terhadap pasal-pasal kepercayaan kita terhadap ajaran-ajaran sekeliling kita. Selama ini dapat dikatakan, bahwa hanya dua agama yang ada di sekeliling kita, yaitu Animisme dan Islam. Tetapi sekarang telah banyak ajaran-ajaran yang telah masuk dari luar dan juga tumbuh dari dalam.
Gereja Katholik Roma telah kembali lagi untuk melebarkan sayapnya. Ajarannya bertentangan dengan ajaran kita." (Pengakuan Iman HKBP 1951 & 1996, Pearaja 200, h.34). Isi konfessi ini banyak sama dengan isi Konfessi Augsburg 1530, tetapi tidak memasukkan lagi isi KA yang tidak relevan dengan masa penulisan konfessi tersebut. Ada beberapa catatan dibuat yang menegaskan perbedaan ajaran HKBP dengan Katolik. Misalnya dalam hal: 1) pemahaman mengenai Bunda Maria (pasal 3), 2) pemahaman mengenai sakramen (pasal 10); 3) praktek melaksanakan perjamuan kudus/misa/ekaristi (pasal 10. bagian B). Tetapi sewaktu Konfessi HKBP diperbaharui (direvisi) pada tahun 1996, di dalam pendahuluan atau alasan merevisi Pengakuan itu maupun dalam rumusan-rumusan isi konfessi tersebut, tidak disebutkan lagi nama ‘Roma Katholik’ dan mana ajaran Roma Katholik yang ditolak atau tidak disetujui.

5. Pandangan HKBP
Di dalam rapat pendeta HKBP sebenarnya sangat jarang dibicarakan mengenai sikap terhadap Roma Katholik. Tetapi ada beberapa catatan yang perlu disampaikan di sini, yang diambil dari kumpulan keputusan Rapat Pendeta HKBP yang didapat penulis dari Ketua Rapat Pendeta HKBP yang masih aktif sekarang (Pdt. DR. Jamilin Sirait, Dosen STT HKBP Pematangsiantar). Dari Rapot Pandita HKBP 1931-1942, ada keputusan yang mengatakan: "Adong do dua na ingkon adopan jala aloon ni HKBP, ima RK, Adventis dohot angka parugamo na asing; angka na bali sian huria, parjuji. Ingkon adopan ni huria do nang kultur na sian bangso na asing tu tano Batak mulak tata hasipelebeguon". (Butir 5). Tetapi dalam Rapot Pandita HKBP 1957 direkomendasikan begini: "Unang dipingkir HKBP naung di ginjang HKBP gabe dihorhon i ma halembaon tu ulaon panghobasion. Sitiruon do RK siala haringgasonna manopot angka dongan." (Butir 2). "Siauhonon ni HKBP do haroro ni RK songon dalan mandungoi HKBP" (Butir 3). Kemudian untuk Keputusan Rapot Pandita HKBP 2001 diberikan catatan yang bunyinya: "Diusulkan Komisi Teologi do tu Rapot Pandita asa unang pola dipabali be ruas ni HKBP na marhasohotan tu ruas ni RK jala dipasupasu di gareja RK Angka natoras nasida pe boi mangadopi acara pamasumasuon nasida i. Alai ndang tarjalo do pe rap marhobas Pastor dohot Pandita patupa pamasumasuon i. Ndang apala tarida kalimat na konkrit di keputusan taringot tuson." Sampai di situ sikap tertulis yang dapat ditemukan mengenai pandangan HKBP terhadap Roma Katholik.
Dari apa yang disebutkan di atas dapat ditarik pendapat bahwa dulu HKBP sebagai gereja terbesar di Sumatera Utara masih bersikap sangat berseberangan dengan RK. Bahkan RK dianggap sebagai lawan (musuh), tetapi di dalam pelayanan RK ada hal-hal yang disimpatiki dan perlu ditiru. Sebelum tahun 2001 HKBP masih menghukum orang atau keluarga yang menikahkan anaknya kepada anggota RK dan yang menikah kepada warga RK atau menerima pemberkatan nikah di gereja RK. Sikap seperti itu juga hampir diikuti oleh semua gereja-gereja Lutheran di Sumatera Utara waktu itu.
(Bersambung pada edisi berikut)