Tuesday, November 23, 2010

PROFIL

Pdt. Emeritus BM. Siahaan, STh:

“Sibalga butua, metmet uluna. Sai unang ma songon i hita na marhuria on”


“Sibalga butua, metmet uluna. Sai unang ma songon i hita na marhuria on”, ungkap Pdt. (emeritus) BM Siahaan, STh sebagai salah satu pesan beliau pada Minggu (31/10) saat kunjungan Pucuk Pimpinan Ephorus dan Sekjend di rumah kediaman beliau, Jl. Melanthon Siregar, Pematangsiantar.


Kunjungan Pdt. DR. Langsung Sitorus, MTh bersama Pdt. M. Pahala Hutabarat, STh ke rumah kediaman Pdt. BM. Siahaan dilakukan seusai pelaksanaan Serah terima dan Pangojakhon Praeses HKI Daerah I Sumatera Timur I, Pdt. Jansen Simanjuntak, STh di HKI Asuhan Stadion dalam rangka menjenguk beliau yang telah lama sakit di usianya yang semakin lanjut.


Dalam suasana bersahaja Pdt. BM. Siahaan, STh masih mampu mengimbangi percakapan dengan Pucuk Pimpinan layaknya tidak seperti sedangkan sakit. Untuk membawa HKI berhasil menjadi Huria yang berkembang dan menyenangkan hati Tuhan beliau mengungkapkan bahwa kuncinya terletak pada tanggungjawab di setiap masing-masing pelayan dan warga jemaat HKI untuk mengemban tugasnya masing-masing, bukan saling menuding satu sama lain. “Bertanggungjawablah pada kerja dan tugas masing-masing, jangan saling menuding, menuduh dan menyalahkan antar sesama baik pelayan dan warga jemaat. Karena inilah awal ketidakberhasilan manusia sejak awal (adam dan hawa); Di saat mereka saling menuduh dan menyalahkan di hadapan Tuhan di sanalah awal mereka berdosa bagi Tuhan sehingga menghasilkan pengusiran mereka dari Taman itu,” tegas pendeta yang telah lama melayani di HKI sejak 1983 hingga mengakhiri masa pelayanannya sebagai pensiunan pendeta pada tahun 1997. “Jika tidak mau diusir Tuhan dari setiap pekerjaan yang diberikanNya kepada kita, janganlah saling menuduh, pertanggungjawabkanlah setiap tugas dan pekerjaan kita masing-masing”, sambung beliau dengan sesekali mengelap wajahnya dengan kain yang digantungkan di leher beliau.


Saat ini Pendeta yang dikaruniai lima putra dan satu putri yang semuanya telah berkeluarga dari Istri R. br. Pardede menderita sakit menua. Pengelihatan beliau tidak lagi normal sebagaimana pada umumnya, dan oleh karena lemahnya fisik beliau, untuk berdiri dan berjalan saja beliau harus ditopang. Namun, di kelemahan fisiknya itu, tidak membuat semangat jiwa pelayannya kendur dan mati, malah dari percakapan saat itu, sosok seorang teolog yang sederhana jelas tampak pada dirinya. Beliau juga senantiasa mengikuti perkembangan HKI dengnan bertanya kepada anak dan istri di rumah. Tidak hanya itu, meski harus dengan menggunakan kursi roda, beliau tetap hadir di dalam Ibadah Minggu di Gereja HKI Jl. Melanthon Siregar.


Mengenai uang pensiunan yang diterima beliau beserta para pendeta pensiunan HKI lainnya yang ketika disinggung oleh Ephorus kala itu, beliau dengan tenang menanggapinya sebagai suatu hal yang tetap harus diterima dengan sukacita dan syukur. “Uang sebesar itu sudah besar jika diikuti dengan ucapan syukur kepada Tuhan”, sahut beliau secara spontan yang kemudian menimbulkan rasa takjub dan bangga dari kami yang hadir pada saat itu terhadap sosok renta dengan jiwa dan spritual yang benar-benar menghamba pada pekerjaan Tuhan yang diembannya selama ini di tengah kehidupan perekonomian keluarga yang terbilang sederhana. “Maka hendaknya para pelayan HKI haruslah menyadari keberadaan Huria, jangan dibanding-bandingkan dengan gereja-gereja lain sehingga kita dapat senantiasa sukacita dalam melayani dan bersukur dari apa yang kita peroleh”, lanjut lelaki kelahiran 23 November 1936 ini sambil meraba ke atas meja di sampingnya untuk mengambil secangkir teh hangat. “Apa yang Tuhan beri terimalah dengan syukur, karena lebih baik kaya partondian (rohani) daripada pardagingon (duniawi)”, lanjut beliau yang didampingi istri tercinta dan anak laki-lakinya.


Banyak hal yang menjadi harapan sosok sederhana ini bagi HKI ke depan dengan kepemimpinan yang baru pasca Sinode HKI ke 59 yang telah berlalu. Beranjak dari pengalaman beliau yang juga pernah melayani di Kantor Pusat HKI pada tahun 1986 sekaligus sebagai Guru di PGAKP HKI, bahwa dengan menjadikan nilai-nilai disiplin sebagai harga mati bagi kegiatan di Kantor Pusat HKI adalah awal bagi keberlangsungan HKI yang lebih baik ke depan. Selain itu, untuk memusatkan kegiatan-kegiatan di HKI sudah saatnya dipikirkan dan ditindaklanjuti bagaima gedung serbaguna HKI dikelola dan dimanfaatkan menjadi pusat kegiatan para pendeta dan kegiatan lainnya di Huria. Jika memungkinkan HKI sudah saatnya memiliki tempat yang lebih memadai dan layak untuk pelbagia kegiatan HKI kedepannya. “Sibalga butua, metmet uluna. Sai unang ma songon i hita na marhuria on”, tandas pendeta yang sebelum mengakhiri masa pelayanannya sempat sebagai Kepala Sekolah Guru Jemaat HKI dan Redaktur Bina Warga HKI pada tahun 1994.


Mengenai pengalamannya menjadi seorang pendeta yang melayani di HKI sejak tahun 1983 sebagai Pengasuh Panti Asuhan Sarfat HKI, beliau menemukan dirinya belum melakukan apa-apa untuk HKI. Seakan-akan waktunya melayani bagi HKI sangat begitu sedikit dan berlalu begitu cepat. Bahkan beliau menambahkan bahwa Huria tidak pernah salah, "Terkadang kita yang kurang menyadari kehadiran kita di Huria mendatangkan kebaikan kah atau malah sebaliknya", jelas pendeta yang menamatkan pendidikan sarjana teologianya dari STT Nomensen tahun 1963 ini. “Waktu kita tidak banyak, seperti pernyataan Yesus kepada Petrus bahwa waktu muda kita sendiri yang mengikat pinggang kita dan berjalan kemana saja yang kita mau, tapi setelah tua orang lain akan melakukannya untuk kita dan membawa kita ketempat yang tidak kita mau, (bnd. Yohanes 21:18) oleh karena itu, selagi masih muda dan waktu masih panjang bekerjalah dengan memberikan yang terbaik bagi Tuhan lewat HuriaNya HKI", lanjut beliau yang sempat menjalani hari-hari sebagai Pendeta Resort di HKI Hutabayu, Bandar Perdagangan dan terakhir di Siantar Simpang II sejak tahun 1987 hingga 1989.


Mengamati kondisi HKI belakangan ini, Pdt. Emeritus BM. Siahaan merefleksikan HKI seperti bangsa Israel saat menuju Tanah Kanaan. Banyak ketertinggalan HKI disebabkan oleh karena HKI lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bersungut-sungut satu dengan yang lain, sama seperti salah satu penyebab utama bangsa Israel yang membutuhkan waktu sangat lama untuk menuju Tanah Kanaan. "Sudah waktunya bagi kita untuk meninggalkan sikap marhuria yang demikian, sehingga HKI dapat lebih baik dan berkembang", tutup salah satu tokoh pelayan bagi HKI ini kepada rombongan. (yph)