Tuesday, October 20, 2009

Artikel, Bina Warga Edisi Oktober - Nopember 2009

SEMUA ANAK-ANAK DAPAT DIBAPTIS
(Penjelasan Keputusan Rapat Konven Pendeta HKI)
Oleh : Pdt. Firman Sibarani, M.Th


1. Pengantar
Gereja HKI mengadakan suatu pembaharuan terhadap ajarannya dalam hal baptisan anak-anak. Dalam ajaran yang lama, tidak semua anak-anak dapat dibaptis. Ada anak-anak tertentu yang tidak dapat dibaptis. Dalam ajaran baru, sebagai hasil evaluasi (tinjauan) teologis dogmatis dan alkitabiah diputuskan bahwa semua anak dapat dibaptis.

2. Ajaran Lama HKI Yang Menentukan Anak-Anak Tertentu Tidak Dapat Dibaptis
Ajaran HKI yang menentukan anak-anak tertentu tidak dapat dibaptis sudah berpuluh tahun dianut oleh HKI. Sebagai contoh, ajaran ini dituangkan dalam Hukum Siasat Gereja HKI yang ditetapkan tahun 1993. Ajaran ini belum dievaluasi dalam Hukum Siasat Gereja HKI yang ditetapkan tahun 2005, termasuk dalam revisinya yang ditetapkan tahun 2008 pada Sinode ke-58 HKI di Mikie Holiday – Berastagi.
Adapun butir-butir dari Hukum Siasat Gereja HKI yang menentukan anak-anak tertentu tidak dapat dibaptis adalah :
  1. Anak yang orangtuanya tidak mengalami atau belum selesai menjalani masa pendidikan yang diaturkan jemaat.
  2. Anak adopsi yang tidak disertai dengan surat penyertaan dari keluarga yang mengadopsi dan tidak diwartakan di jemaat.
  3. Anak yang lahir dari keluarga yang tidak resmi, yaitu keluarga yang tidak diberkati oleh Gereja, atau anak yang lahir diluar pernikahan.
  4. Anak yang lahir dari hasil marbagas roharoha.
  5. Anak yang orangtuanya menjalani hukuman Hukum Siasat Gereja.
  6. Anak dari anggota Gereja lain yang tidak memenuhi persyaratan pembaptisan yang diaturkan jemaat.
  7. Anak dari anggota Gereja yang tidak sedogma dengan HKI.
  8. Bayi tabung yang tidak bersumber dari ayah dan ibunya sendiri.
  9. Bayi tabung yang tidak dikandung oleh ibunya sendiri.


Sebagaimana disimak oleh Pdt.Langsung Sitorus, ada dua alasan HKI mengapa ada anak-anak yang ditolak untuk dibaptiskan di HKI, yaitu alasan administrasi dan alasan runtut dosa orang tuanya (Pdt.Langsung Sitorus, dalam ceramahnya berjudul “Bolehkah Semua Anak-Anak Dibaptis?”, yang disampaikan pada rapat Konven pendeta HKI tanggal 14-17 Maret di Pematangsiantar).

3. Mengapa Ajaran Lama Itu Diperbaharui ?
Ada tiga hal yang menjadi alasan mengapa ajaran itu diperbaharui. Pertama, ketentuan-ketentuan ajaran itu tidak benar karena menghambat dan menolak anak-anak tertentu (9 macam anak) menjadi penerima anugerah dari Yesus Kristus dalam baptisan. Kedua, ajaran itu tidak sesuai dengan ajaran dogma HKI dalam konfessi Augsburg 1530 sebagai Gereja Lutheran. dan ajaran alkitabiah. Ketiga, HKI adalah Gereja sebagaimana disebutkan Martin Luther ”ecclesia reformata semper reformanda”. Maksudnya, HKI adalah Gereja reformasi yang terus direformasi. Gereja HKI adalah Gereja yang dibaharui dan terus diperbaharui. Pembaharuan yang terus ini termasuk dalam ajaran yang dianut atau yang diimani. Pembaharuan ajaran adalah bagian dari hidup HKI yang sedang berada “di tengah jalan” untuk memimpin HKI kepada kesempurnaan, sekalipun kesempurnaan tak dapat dicapai di dunia ini (bd. B.J Boland, Dogmatika Masa Kini, BPK GM, 1987, hlm 371). Sebagaimana Gereja HKI, ajaran gereja HKI akan tetap di tengah jalan sampai akhir zaman dimana Kristus menyempurnakannya (bd. Kol. 1:28 ; Ibr. 12:2; Why 21:22).

4. Inilah Ajaran Baru Itu : ”Semua Anak Dapat Dibaptis.”
Ajaran baru itu diputuskan pada rapat Konven Pendeta HKI tanggal 14 - 17 Maret 2009 di Pematangsiantar. Secara ringkas ajaran baru itu adalah : ”Semua Anak Dapat Dibaptis”. Selengkapnya ajaran baru itu berbunyi sebagai berikut :

”Semua anak dapat dibaptis, Maksudnya, semua anak yang lahir dari siapapun dan cara bagaimanapun dapat dibaptis. Kesalahan atau dosa orangtua tidak menghambat seorang anak untuk dibaptis karena kesalahan atau dosa orangtua tidak ikut ditanggung oleh anaknya (Yeh. 18:19-20). Baptisan terhadap anak yang orangtuanya kena Hukum Siasat Gereja HKI atau yang orangtuanya bukan warga HKI atau yang orangtuanya bukan Kristen dapat dilaksanakan dengan adanya orangtua yang adalah warga HKI yang membawanya secara bertanggung-jawab dan memenuhi ketentuan administrasi yang diaturkan oleh HKI” (Keputusan RapatKonven Pendeta HKI Tahun 2009 tentang ajaran, Point 1.1)

Ajaran ini menjelaskan bahwa tidak ada anak macam apapun yang tidak dapat dibaptis. Semua anak yang dilahirkan ke dunia ini baik dari orangtua yang jahat, yang kotor (sundal), yang kena Hukum Siasat Gereja (dipecat), yang bukan Kristern, atau yang lahir dari rahim ibu atau bukan dari rahim ibu dapat dibaptis oleh HKI. Jadi apapun alasan kesalahan atau dosa terkait dengan orangtua atau yang mengasuh tidak menghambat anak-anak untuk dapat dibaptis oleh HKI. Mengenai masalah praktis dan administrasi tentulah diurus dan dibereskan oleh yang bersangkutan dengan dibantu atau bekerjasama dengan HKI.

5. Dasar Pembenaran Ajaran Baru Itu
Ada dua dasar pembenaran dari ajaran baru tersebut, yaitu dasar teologis dogmatis Lutheran dan dasar Alkitabiah. Berikut ini mari kita tinjau mulai dengan dasar teologis dogmatisnya lalu dasar alkitabiahnya.

5.1 Dasar Teologis Dogmatis Lutheran
Untuk mencari tahu dasar teologis dogmatis Lutheran paling tidak kita mencari tahunya dari konfessi Augsburg 1530, yang adalah salah satu konfessi (pengakuan) HKI dan dari ajaran Martin Luther yang juga ajaran yang dianut oleh HKI.
Di konfessi Augsburg 1530 pasal IX disebutkan bahwa anak-anak harus dibaptis. Janji keselamatan Allah juga ditawarkan kepada anak-anak dan bayi bersama baptisan itu. Konfessi ini melawan ajaran kaum Anabaptis yang menolak baptisan anak kecil. Konfessi ini tidak memuat ketentuan atau indikasi yang menghambat anak-anak tertentu untuk dibaptis. Justru berdasarkan perintah Kristus (Mat 28:19), “Baptislah Semua Bangsa”, konfessi ini menegaskan bahwa karena keselamatan ditawarkan kepada semua orang, begitu juga baptisan ditawarkan kepada semua orang termasuk anak-anak dan bayi. Tidak disebutkan anak-anak yang bagaimana yang dapat dibaptis atau yang tidak dapat dibaptis.

Martin Luther mengajarkan bahwa baptisan bergantung kepada firman Allah, bukanlah apakah orang yang dibaptis itu percaya atau tidak. Kalaupun ia tidak percaya, itu tidak membuat baptisan itu salah. Disebutkan juga bahwa baptisan adalah sah sekalipun tidak disertai dengan iman. Sebab, iman tidak membuat baptisan seperti apa adanya, melainkan menerimanya. Baptisan tidak terikat dengan iman, melainkan dengan firman Tuhan. Sehubungan dengan itu disebutkan bahwa anak-anak dibaptis karena perintah Allah. Anak-anak dibaptis bukan karena imannya, melainkan hanya karena Allah telah menyuruh membaptis mereka. Selanjutnya dikatakan bahwa baptisan tetap sah sekalipun disalahgunakan. Luther mengibaratkannya dengan emas yang dikenakan pelacur, “emas tetaplah emas, kendatipun seorang pelacur mengenakannya dalam dosa dan aib”. Jadi menurut Martin Luther : “Baptisan senantiasa benar dan berlaku sepenuhnya, kalaupun seseorang dibaptis dan tidak mempunyai iman yang benar. Sebab, firman dan perintah-perintah Allah tidak dapat diganti atau diubah oleh manusia” (Lihat dalam Katekismus Besar Martin Luther, BPK GM, 2007, hlml. 195-199).

Berdasarkan ajaran Martin Luther ini, jelas bahwa tidak seorangpun anak dapat ditolak untuk dibaptis, karena baptisan itu tidak bergantung pada diri atau keadaan si anak melainkan pada firman dan perintah Allah untuk membaptis.


5.2 Dasar Alkitabiah

a. Ajaran alkitabiah tidak berbicara tentang anak-anak tertentu yang tidak dapat dibaptis, tetapi berbicara tentang membaptis semua bangsa / semua orang, termasuk di dalamnya anak-anak.

Matius 28:19 : ”Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”

b. Ajaran Alkitabiah tidak ada yang menghambat anak-anak datang kepada Yesus, sebaiknya mengajarkan membiarkan anak-anak datang kepada Yesus.

Lukas 18:16-17 : Tetapi Yesus memanggil mereka dan berkata : ”Biarkanlah anak-anak itu datang kepadaku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah”. Aku berkata kepadamu : ”Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak masuk ke dalamnya.”

Siapa anak-anak yang disebut Yesus dalam nats ini tidak dibuat ketentuannya. Siapa yang diminta Yesus untuk dibiarkan datang kepadaNya adalah anak-anak. Itu artinya siapapun anak-anak. Karena baptisan merupakan salah satu cara bagi Gereja / orang kristen untuk membawa anak-anak kepada Yesus, maka siapapun anak dapat dibaptis.


c. Ajaran Alkitabiah bahwa anak-anak juga pemilik janji Allah yang diadakan dengan umat manusia, yakni akan diberikan Kerajaan Allah (Mrk. 10:14 ; Luk. 18:16; Kis. 2:38-39).
Karena baptisan adalah sekaligus karya Allah dan perbuatan manusia (Kis. 2:38 ; 9:17-19 ; 16:31-33; Mrk. 16:16), maka baptisan anak-anak juga perbuatan manusia membawa anak-anak menjadi penerima janji Allah dalam baptisan, atau untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Jadi, sekiranyapun benar bahwa anak-anak tertentu berada di luar janji Allah dan di luar Kerajaan Allah karena orangtuanya berdosa dan kena Hukum Siasat Gereja, justru anak-anak seperti itulah yang harus dibawa ke dalam Kerajaan Allah dalam baptisan.

d. Ajaran Alkitabiah bahwa seorang anak tidak dihukum oleh karena dosa ayahnya atau dosa orangtuanya.

Yeremia 31:29-30: Pada waktu itu orang tidak berkata lagi: Ayah-ayah makan buah mentah, dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu, melainkan: Setiap orang akan mati karena kesalahannya sendiri; setiap manusia yang makan buah mentah, giginya sendiri menjadi ngilu.
Yehezkiel 18:1-4 : Maka datanglah firman TUHAN kepadaku: ”Ada apa dengan kamu, sehingga kamu mengucapkan kata sindiran ini di tanah Israel: Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu? Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel. Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Kemudian Yehezkiel 18:19-20 : ”Tetapi kamu berkata : mengapa anak tidak turut menanggung kesalahan ayahnya? – Karena anak itu melakukan keadilan dan kebenaran, melakukan semua ketetapan-Ku dengan setia, maka ia pasti hidup. Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya.

Bertitik tolak dari ajaran ini, maka seorang anak yang dilahirkan dari orangtua yang berdosa, yang kena Hukum Siasat Gereja tidak boleh dijatuhi hukuman berupa ditolak untuk dibaptis, melainkan kepadanya anugerah Tuhan harus dinyatakan dengan membaptis.


6. P e n u t u p

Dengan ajaran “semua anak dapat dibaptis” ini gereja HKI memenuhi tugas panngillan yang sebenarnya dengan benar tentang baptisan anak-anak. Tetapi sekalipun ajaran ini ditinjau benar, ia tetap di tengah jalan dan dalam Kristuslah kesempurnaannya. Akhirnya, tentulah ajaran ini membutuhkan petunjuk untuk pelaksanaannya.

************************


KONTOVERSI MENGENAI ULOS BATAK

Oleh Pdt. Dormen Pasaribu, STh

I. PENDAHULUAN
Ulos Batak adalah salah satu dari beberapa unsur material dari budaya Batak. Sebagai unsure material, ulos Batak tidak dapat dilepaskan dari orang Batak karena pada dulunya ulos Batak menjadi busana bagi orang Batak. Lain halnya dengan sekarang, oleh karena kemajuan teknologi, ulos Batak tidak lagi menjadi bahan busana bagi orang Batak. Di samping sebagai unsur material, orang Batak memandang ulos Batak bermakna simbolik, artinya memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya.


Mengenai ulos Batak sudah lama menjadi kontroversi di kalangan orang Kristen Batak. Bagi sebahagian kecil orang Kristen Batak, mereka anti terhadap ulos Batak kendatipun mereka suku Batak. Sikap anti itu sertamerta melakukan pembakaran terhadap ulos Batak. Menurut mereka di dalam ulos Batak itu ada keberhalaan karena dulunya ulos Batak dipakai dalam upacara penyembahan berhala. Sedangkan bagi sebahagian besar orang Kristen Batak, ulos Batak tetap dipelihara. Hal itu dapat kita lihat dalam adat istiadat, dalam kegiatan Gereja. Dengan kata lain, bersebrangan dengan sikap yang ditunjukkan oleh sebahagian yang anti terhadap ulos Batak.
Dari sudut pandang budaya; apakah memang salah memakai ulos Batak? Dari sudut iman Kristen, apakah ulos Batak itu bertentangan dengan iman Kristen?

II. PEMAKAIAN ULOS BATAK

Setiap kebudayaan selalu memiliki unsur-unsur material yang bermakna simbolik yang dipergunakan di dalam perayaan atau pelaksanaan adat. Salah satu unsur simbolik dalam kebudayaan Batak adalah ulos. Setiap pelaksanaan adat selalu dengan pemakaian ulos. Dengan demikian makna dan pemanfaatan ulos tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan dan makna adat Batak. Namun demikian, ulos bukan hanya bermakna simbolik sebagaimana dipahami di dalam adat, budaya dan kepercayaan religi Batak, tetapi juga bermakna konkrit dengan efisiensi ekonomis.

Pada satu sisi ulos dipahami sebagai bagian dari busana dan bahan tekstil dari produk home industry. Dalam pengertian ini, ulos memiliki nilai ekonomis yang laku dijual dan dibeli. Para penenun, penjual dan pembeli ulos selalu berpikir ekonomis, dengan perhitungan laba rugi. Pada suatu pabrik tenun, pekerjaan menenun merupakan lapangan pekerjaan yang dapat membangun ekonomi keluarga. Ulos juga dipakai sebagai busana, busana ulos bagi laki-laki bagian atas disebut sebagai handehande, bagian bawah disebut singkot, dan penutup kepala disebut talitali, bulangbulang atau detar. Sedangkan busana perempuan, pakaian bagian bawah yang dipakai sampai bahu disebut haen, bagian penutup bahu disebut hobahoba, tetapi kalau dipakai untuk mengendong anak disebut hohophohop dan bila dipakai sebagai selendang disebut ampeampe, sedangkan penutup kepala disebut saong. Sementara itu, masih ada ulos yang khusus dipakai untuk menggendong anak yang disebut parompa. Semua bahan busana ini adalah ditenun dan disebut ulos. Dengan demikian, pada sisi pandangan ini; mulai dari pembuatan, penjualan dan pembelian tidak ada hubungannya dengan pemahaman magis, ritual dan kepercayaan tertentu.

Pada sisi lain, ulos dipahami secara simbolik, dalam arti memiliki makna khusus di luar sifat dan fungsi materialnya. Ulos dapat merupakan pintapinta; permohonan, harapan atau doa, misalnya dengan permohonan mangulosi badan dan mangulosi tondi. Pada sudut pandangan ini, ulos memang dipahami memiliki makna melebihi fungsi materialnya karena bukan hanya berguna untuk kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Sesuai dengan fungsi ini maka ada berbagai ulos Batak yang dipakai sesuai dengan makna simbolik dan makna permohonan yang masing-masing terkandung pada ulos tersebut, yaitu;
Ulos Jugia
Ulos Surisuri Ganjang
Ulos Ragidup
Ulos Mangiring
Ulos Ragihotang
Ulos Bintang Maratur
Ulos Sadum
Ulos Sitolutuho
Ulos Runjat
Ulos Jungkit
Ulos Sibolang
Ulos Parompa


Dalam sudut pandang kedua inilah lahir pemahaman simbolik, baik sebagai representasi pengganti unsur material maupun sebagai permohonan tentang kesehatan jasmani dan rohani, yaitu;

  1. Ulos na tinonun sadari yang diberikan kepada seseorang yang hendak diulosi tetapi digantikan dalam bentuk uang.
  2. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian ulos oleh pihak hulahula kepada borunya dalam bentuk material seperti sebidang tanah.
  3. Ulos Tondi, bukan ulos ni tondi, yaitu suatu bentuk pintapinta atau permohonan, di mana pihak hulahula mangulosi borunya yang sedang mengandung anak pertama dengan maksud agar boru yang hendak melahirkan dikuatkan jasmani dan rohaninya ketika melahirkan anaknya, demikian juga dengan anak yang akan lahir sehat secara jasmani dan rohani. Di daerah tertentu acara ini disebut mangirdak atau mambosari, artinya perempuan yang hamil tua dapat melahirkan dengan selamat, baik bayinya maupun dirinya sendiri.



Dengan melihat ragam ulos tersebut dan memperhatikan fungsi dan pemakaiannya maka bagi masyarakat Batak tradisional tempo dahulu pasti selalu berhubungan dengan ulos. Ke mana mereka pergi dan dalam tugas apapun yang dilakukannya mereka selalu membutuhkan ulos dalam kehidupannya seharihari. Artinya, orang Batak tidak mungkin mengabaikan apalagi meniadakan ulos dalam kehidupannya.
Namun setelah masyarakat Batak hidup dalam dunia modern, fungsi dan makna ulos sudah berkurang. Ulos sudah digantikan dengan baju, celana, jas, kebaya, sarung dan lain-lain untuk bahan pakaian laki-laki dan perempuan. Ulos tidak lagi dipakai sebagai busana, kecuali dalam hal-hal tertentu, misalnya untuk menunjukkan pakaian tradisional Batak. Pada masa kini pemakaian dan penggunaan ulos lebih dominan dipakai dalam arti nilai budaya yang bermakna simbolik dan pintapinta.


III. KETAKUTAN TERHADAP ULOS

Sebahagian kecil masyarakat Kristen Batak yang beraliran fundamentalis dan karismatis sangat takut terhadap ulos. Konon menurut mereka untuk membuat warna dasar ulos yaitu warna merah, nenek moyang orang Batak dahulu kala harus mempergunakan darah manusia (tetapi dalam membuat gorga ni ruma, ada marga Batak tertentu yang memiliki cerita seperti itu. Benar atau tidak, itupun tidak kita ketahui). Entah darimana sumber berita itu tidak kita ketahui. Akan tetapi berita itu sering diberitakan, bahkan dalam rangkaian penjelasan khotbah, hanya untuk menumbuhkan rasa takut dan untuk mengukuhkan bahwa ulos benar-benar berbau kekafiran. Benar atau tidak benar cerita itu tidak kita ketahui.
Para pengkhotbah dan oknum yang anti ulos juga sering memberitakan bahwa di dalam ulos itu ada berdiam setan, raja iblis. Hal itu terjadi, katanya, karena ulos tersebut dipakai sebagai alat dan media menyembah setan. Ketika orang Batak dahulu dan sekarang manortor mereka selalu memakai ulos, maka di dalam ulos tersebut mereka pastikan telah berdiam keberhalaan, begu dan setan. Dengan demikian, menurut mereka, satu-satunya cara untuk membasmi setan tersebut, maka ulos itu harus dibakar.
Benarkan di dalam ulos itu ada setan? Andaikan benar, apakah bila ulos dibakar, maka setan yang ada di dalam ulos itu ikut terbakar? Andaikan di dalam ulos itu ada setan dan kemudian dibakar, maka setan itu tentu tidak akan mungkin terbakar. Setan itu licik, tidak sebodoh orang yang membakar ulos itu. Andaikan benar di dalam ulos ada setan, maka ketika ulos itu dibakar, setan yang ada di dalam ulos itu mungkin akan menyerang yang membakar ulos itu. Akan tetapi hal itu tidak pernah terjadi, karena memang di dalam ulos itu tidak ada setan. Itu adalah tuduhan yang tidak beralasan dan mengada-ada. Motif pembakaran ulos sebenarnya adalah karena perasaan ketakutan yang berlebihan terhadap ulos itu sendiri.
Setan dan iblis dapat berdiam dan mendiami apa saja. Ia mungkin ada di suatu tempat, di suatu ruangan, di pohon, di kayu besar. Bahkan setan atau iblis juga mampu berdiam dan masuk ke tempat tinggal manusia. Andaikan semua tempat yang pernah dan yang mungkin didiami iblis atau setan harus dibakar, maka tindakan itulah yang justru disenangi iblis. Mengusir setan bukanlah dengan cara membakar tempat atau benda yang diduga tempat kediaman setan. Mengusir setan atau iblis adalah dengan iman kepada Yesus Kristus, mengundangnya agar Ia hadir di dalam tempat, ruang, benda dan kehidupan kita, sehingga tempat-tempat yang diduga berhala, kotor dan berdosa seperti kehidupan manusia akan menjadi tempat, benda dan manusia yang kudus karena telah dikuduskan oleh Roh Kudus.
Sebenarnya, ulos yang kita persoalkan sekarang bukanlah ulos yang ditenun oleh nenek moyang kita dahulu kala, bukan pula ulos yang dipakai untuk menyembah berhala, melainkan ulos yang ditenun oleh orang Kristen pada masa kini. Dulu para ibu atau na marbaju yang bekerja sebagai partonun sering diejek sebagai parkasuksak maka kesan kekafiran yang dituduhkan sama sekali tidak benar. Dalam membuat warna benang ulos partonun membuatnya dari zat-zat kimia. Demikian juga supaya ulos dapat hortang, partonun mengolesi benang yang akan ditonun dengan bubur nasi. Jadi sangat jelas kesan kekafiran tidak ada di sana.
Seorang partonun yang sudah ahli dapat menenun ulos mangiring paling cepat dalam tiga hari, dengan jam kerja 8 jam perhari melebihi jam kerja standard. Keuntungan bersih dari satu helai ulos mangiring tidak lebih dari Rp. 50.000,-. Melihat jerih payah mereka mencari nafkah, sebaiknya tidak ada lagi upaya orang-orang tertentu yang menggemborgemborkan berita yang justru menyengsarakan rakyat kecil itu.

IV. MENGKAMBINGHITAMKAN ULOS

Setelah melancarkan gerakan pembakaran ulos, ternyata mayoritas Kristen Batak tetap mempertahankan ulos sebagai bagian penting dari pelaksanaan adat kebudayaannya. Kampanye pembakaran ulos memang tuduhan bahwa ulos adalah alat menyembah berhala, tempat kediaman setan dan iblis, ternyata tidak meghilangkan kecintaan masyarakat Batak terhadap ulos sebagai unsur penting di dalam kebudayaannya. Oleh karena akhir-akhir ini muncul argumentasi baru, dengan memperalat nats-nats Alkitab, seolaholah Alkitab sebagai firman Tuhan melarang manusia memakai ulos Batak. Tuduhan terhadap ulos sebagai berhala dengan motif memperalat nats Alkitab dapat dilihat dalam uraian berikut;

“Jadi ndang holan na mangulosi manang na diulosi na sala. Mameop ulos Batak i pe ndang jadi! Ingkon padaonta do ulos Batak i sian jabunta. Ingkon ias do hita sian hasipelebeguon i. Ido na nidok ni Jesus: “Malua situtu”. Ra, adong na manugkun: Sala ulos Batak? Boasa sala? Alusna: Ai Krisatus i do diparuloshon hamu, sude hamu naung tardidi tu bagasan Kristus (Gal. 3:27). Holan sada do na berhak mangulosi tondi ni jolma ima Debata. Jala holan sada do ulos sian Debata, ima Kristus na tarsilang di dolok Golgata. Ndang jadi marangkuop Debata mangulosi hita. Ndang jadi tambaanta ulos sian Debata, ndang jadi ramunanta ulos na badia. Namangulosi manang na di ulosi na mardebata sileban do i; ai halak na manguloshon ulos i na merebut hajongjongan ni Debata do ibana di si; jala halak na ni ulosan i, na manjalo uos sian debata na leban do i”.

Dari uraian di atas ini sangat jelas memperalat nats Alkitab untuk mengatakan bahwa ulos Batak, memakai dan memilikinya adalah salah menurut nats Alkitab. Seolaholah Alkitab membicarakan ulos Batak. Alkitab tidak pernah berbicara tentang ulos Batak. Sekalipun ada berbagai kata ulos dalam Alkitab maka dipastikan yang dimaksud bukanlah ulos Batak.
Nats Galatia 3:27 dalam terjemahan bahasa Indonesia mengatakan: “Karena kamu semua yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus”. Jadi kata mamparuloshon diterjemahkan dengan mengenakan, dalam arti pakaian. Dengan demikian, arti nats ini adalah: orang yang sudah dibaptis dalam Kristus telah memakai Kristuis sebagai pakaiannya. Itu memang benar. Setiap orang Kristen telah berpakaian baru, mempunyai nama baru, yaitu pengikut Kristus. Akan tetapi itu bukan berarti kita tidak perlu pakaian. Sebab yang dimaksud bukanlah pakaian jasmani tetapi adalah pakaian rohani. Coba bayangkan misalnya andaikan Galatia 3:27 diterjemahkan dengan kata yang berbeda tetapi dengan makna yang sama dalam bahasa Batak: “Ai Kristus i do paheanmuna”, apakah itu berarti tidak perlu berpakaian jasmani lagi? Karena kita orang-orang yang telah dibaptis telah memakai pakaian Kristus, apakah itu berarti bahwa celana, baju, rok dan pakaian lainnya harus dibakar.

V. SOLUSI TEOLOGIS TERHADAP KONTOVERSI ULOS BATAK

Secara teologis-antropologis manusia tidak dapat berhubungan dengan Allah secara langsung tanpa suatu alat atau media perantara. Semua agama yang ada di dunia ini selalu memakai media yang ada pada budayanya sendiri untuk berhubungan dengan Allah. Korban bakaran seperti domba, lembu, merpati adalah media untuk memuji dan menyembah Tuhan. Hasil panen, bungabungaan, kemenyan dan berbagai wewangian adalah media untuk mengucapkan syukur dan memuliakan Tuhan. Semua media itu secara material sebenarnya tidak dibutuhkan Tuhan, tetapi Tuhan berkenan dengan media ucapan syukur tersebut. Hal itu terjadi bukan karena material medianya tetapi karena hati dan iman orang yang mempersembahkannya (bd. Maz. 50:7-15).
Uang juag dapat dipakai sebagai media persembahan dan ucapan syukur. Sama seperti ulos, berbagai unsur-unsur kebudayaan lainnya adalah juga media untuk mengekspresikan dan mengungkapkan iman, doa dan pengharapan kepada Tuhan. Uang dapat menjadi dosa kalau disalahgunakan dalam upaya memperoleh dan memanfaatkannya. Demikian juga ulos, dapat mengandung dosa bahkan hasipelebeguon, bila dipergunakan untuk menyembah setan atau iblis. Jadi uang sama seperti ulos tetap uang dan uilos – tetap media dan materi saja, hanya orang yang memakai dan memanfaatkannya yang berdosa bila dipergunakan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Akan tetapi bila dipergunakan untuk menunjukkan dan mengungkapkan kebesaran nama Tuhan, maka ulos, uang dan media lainnya akan berkenan di hati Tuhan.
Apabila manusia menyapa, memuji dan berdoa kepada Tuhan maka manusia selalu memakai bahasa, prilaku dan sifat anthroprmorfis (antropos= manusia; morfe= bentuk) – sifat-sifat manusia. Dalam menyapa dan memuji Tuhan, Allah itu selalu dibayangkan persis seperti bentuk dan sifat manusia. Sehingga apabila manusia menyapa Allah dan menyebut keberadaan Allah maka sebutan yang dipakai adalah sesuai dengan gambaran manusia atau dari sudut kemanusiaan, misalnya; wajah Allah, tangan Tuhan dan lain-lain. Pada hal yang sebenarnya, Allah itu adalah Roh (Yoh. 4:24). Oleh karena itu cara manusia menyapa Allah secara anthromorfis adalah karena manusia tidak mungkin menyapa Allah dengan cara keilahian Allah sendiri. Manusia hanya dapat menyapa, memuji, menyembah, memohon dan berdoa kepada Allah hanya dengan cara dan sifat kemanusiaan manusia sendiri. Oleh karena sifat dan perilaku manusia yang paling melekat pada dirinya adalah di dalam kebudayaannya, maka adalah hal yang wajar dan biasa apabila manusia menyapa Allah dengan budayanya sendiri. Justru yang tidak wajar, tidak biasa dan aneh adalah apabila manusia menyembah Allah tidak dengan kebudayaannya sendiri.
Oleh karena itu dengan memperalat nats Alkitab untuk menuduh ulos Batak seolaholah dilarang di dalam Alkitab maka itu sama dengan mengkambinghitamkan ulos Batak sebagai sumber dosa, sumber keberhalaan dan mengandung debata sileban. Itu juga berarti mengkambinghitamkan orang-orang yang memakai ulos; yang mangulosi atau yang diulosi sebagai kambing hitam keberdosaan. Akan tetapi mengapa harus demikian? Penetapan seseorang berdosa atau tidak berdoa tidak terletak pada unsur-unsur material yang dipakainya. Bukan pula terletak pada ritus-ritus yang dilakukannya. Sebaliknya, seseorang dapat disebut suci, kudus atau benar sangat ditentukan oleh tujuan dari perbuatannya. Mangulosi atau diulosi memang dapat suatu perbuatan dosa kalau makna mangulosi atau diulosi itu dimaksud secara magis, misalnya berkat diperoleh dari ulos atau dari yang mangulosi tersebut. Akan tetapi mengulosi dan diulosi boleh dibenarkan, bila hal itu dipahami sebagai pintapinta, sebagai doa permohonan, di mana berkat yang diharapkan bukan dari ulos atau dari hulahula, tetapi dari Allah sumber berkat tersebut. Kritik dan saran bisa disampaikan kepada penulis ke; email; dormenpasaribu@Gmail.com atau ke hhtp://pdtdormenpasaribu.blogspot.com

Menjemaatkan Jemaat
Oleh Evelina Simanjuntak

HKI Daerah VII dalam 2 minggu ini sedang sibuk sekali mempersiapkan malam penggalangan dana untuk HKI Daerah VII Pulau Jawa. Bukan masalah penggalangan dana atau kesibukan ini yang membuat saya tergelitik untuk menyampaikan tulisan ini.

Dalam latihan-latihan yang diadakan, ada sebuah pertanyaan dari naposo yang membuat saya sangat tergelitik. Pertanyaan yang sangat simple, “ Ka siapa pucuk pimpinan tertinggi di HKI ? Ephorus atau Phareses, dan bagaimana kedudukan mereka ??”

Pertanyaan yang sepertinya simple dan sederhana. Beberapa dari kita mungkin akan terawa menanggapi pertanyaan itu, karena respon pertama saya adalah seperti itu, saya balik bertanya kedia, “ ini beneran tidak tahu atau ngetest aku??’ Dan dia menjawab, beneran tidak tau ka …..

Percakapan sederhana yang membuat aku merasa miris. Karena jujur, ada hal-hal yang aku sendiri tidak ketahui mengenai gerejaku. Aku juga mungkin akan bingung jika harus menjelaskan struktur ke organisasian gerejaku, jabatan-jabatan di gereja bahkan sejarah gerejaku. Siapa yang sebetulnya harus mulai memikirkan ini?

Apakah nanti saja, jika kami sudah menjadi orang tua, orang bilang”learning by doing”. Tapi ini salah..bagaimana mungkin, kita menganjurkan orang untuk bergerja di HKI, jika kita tidak dapat menjelaskan mengenai gereja tersebut. Mungkin naposo tadi salah satu dari sekian banyak naposo lain yang tidak mendapat pemahaman yang benar mengenai gerejanya. Dalam hal ini saya tidak akan menggeneralisasikan bahwa semua naposo tidak tahu. Namun saya meyakini, banyak sekali Naposo yang perlu mendapat pengetahuan mengenai hal ini.

Bergereja adalah urusan personal dengan Tuhan, benar, tapi pengenalan akan institusi gereja dapat membangkitkan rasa memiliki dan membangkitkan semangat membangun ke arah yang lebih baik.

Saya berpikir bagaimana jika Gereja mulai memikirkan hal ini. Bagaimana jika HKI memulai sebuah system atau metodologi pengenalan HKI kepada kaum muda.
Gereja kita Lutheran, memang, tapi adanya ibadah alternative di beberapa gereja HKI di P. Jawa mengindikasikan keterbukaan HKI terhadap adanya perubahan.

Pengenalan diri HKI, baik sebagai gereja (perpanjangan tangan Tuhan dalam pewartaan Injil) maupun sebagai instansi sudah harus dimulai kepada Naposo dari awal.
Mungkin perlu dipikirkan adanya suatu program kepemudaan yang menjabarkan hal ini kepada Pemuda. Saya tidak tahu bagaimana proses perekrutan calon pengurus Naposo, tapi saya pernah menjadi pengurus naposo dan saya tidak mendapat pembekalan mengenai hal ini.

Mungkin kita bisa memulai dari sini, mungkin akan lebih baik jika di setiap jemaat, Sintua atau Majelis yang menanggungjawabi departemen Pemuda atau PNB menyusun suatu kurikulum mengenai pengenalan dasar HKI sebagai institusi dan sebagai lembaga pelayanan kepada setiap calon pengurus Naposo.

Sehingga ketika Kaum Muda melayani, mereka tidak hanya mengenal Tuhan yang mereka layani, tapi mereka juga mengenal lembaga pelayanan yang didalamnya mereka terlibat untuk melayani.

Atau mungkin, untuk cakupan yang lebih jauh lagi, apakah memungkin kan untuk memasukkan kurikulum ini dalam pengajaran Sidi/katekisasi. Mengajarkan dan mengenalkan HKI kepada peserta katekisasi diharapkan dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan rasa memiliki terhadap HKI khususnya dan budaya Batak umumnya.

Remaja/Pemuda perlu diberi pengertian apa yang membuat HKI unik, kenapa mereka harus berjemaat di HKI dan bukan selepas katekisasi mengabdikan pelayanannya ke gereja lain. Kurikulum ini tentu saja harus mencakup semuanya, sejarah pengenalan gereja, structural organisasi, fungsi dan bahkan jika perlu keindahan liturgis yang di gunakan HKI, sehingga remaja/pemuda dapat mencintai gerejanya.

Saya mencoba mencari dan mengetik-kan kata HKI dalam google, untuk mencari gereja HKI kita harus bersaing dengan definisi-definisi seperti Hellen Keller International dan Hak Kekayaan Intelektual dan lainnya. Mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas, saya mengklik organisasi dalam website gereja kita. Tapi yang saya dapati di sana adalah singkatan-singkatan yang saya sendiri tidak mengerti.
Hanya 3 kata dalam gambar structural itu yang dapat saya pahami, Sinode, Pucuk Pimpinan dan Jemaat.

Adakah kemungkinan untuk membuat ini lebih sederhana,sehingga sebagai Pemuda kami tahu kedudukan kami di jemaat. Ada quotes yang mengatakan : “ Naposo adalah bunga-bunga ni Huria…. “ Tetapi bagaimana bunga-bunga ini memancarkan keharumannya kalau mereka tidak disubsidi oleh akar dan batangnya ?

Hanya kata mungkin yang berani saya tuliskan, tapi berharap ini dapat menjadi sesuatu yang membuat kita semua sama-sama mempunyai keinginan untuk mencari tahu lebih lagi mengenai gereja kita ini, HKI tercinta.

Eve Simanjuntak
HKI Pulomas