Monday, October 18, 2010

Minggu, 14 November 2010: 24 Set. Trinitatis

Ev. Pengkhotbah 11: 1-6
(Minggu, 14 November 2010: 24 Set. Trinitatis)

Pengantar oleh Pdt. DR. Langsung Sitorus, MTh
Nama asli Kitab Pengkhotbah dalam bahasa Ibrani disebut dengan Qoheleth, dasar kata ini adalah Qahal, yang berarti "jemaat". Kata Qoheleth inilah yang diterjemahkan menjadi "Pengkhotbah" yang merupakan fungsi keagamaan. Sedangkan bahasa Inggrisnya disebut dengan Ecclesiastes yang berasal dari bahasa Yunani dalam kitab Septuaginta Εκκλησιαστής. Kata ini berasal dari kata Yunani Εκκλησία (Gereja/jemaat). Artinya tetap saja sama, seseorang yang berkhotbah pada sebuah pertemuaan. Kitab merupakan kumpulan nasehat dan kata-kata hikmat yang disampaikan para pengkhotbah di hadapan jemaat. Isi kitab ini tidak disampaikan sekaligus, tetapi oleh para kolektor/redaktur dipetik dari pelbagai khotbah yang pernah disampaikan pengkhotbah di hadapan jemaat. Kumpulan tulisan ini dijadikan pengajaran bagi orang banyak, khususnya pelajar di sekitar Bait Allah atau Sinagoge. Melalui kitab ini orang Israel diberi pengajaran mengenai hidup yang berkhikmat.

Nama-nama para pengkhotbah tentulah sulit untuk diketahui dan keberadaan Kitab Pengkhotbah merupakan bahan tambahan untuk Kitab Amsal sebagai bahan pengajaran dan pendidikan bagi orang Israel. Kitab Pengkhotbah tidak diketahui kapan selesai ditulis, tetapi redaktur/kolektor mengkaitkannya dengan pengkhotbah yang disebut-sebut anak Daud Raja di Yerusalem (Pengkhotbah 1:1). Oleh karena itu, isi Kitab Pengkhotbah dapat diduga ada sejak Salomo sampai akhir Kerajaan Yehuda dan banyak yang menduga penulisnya adalah Salomo. Tetapi, harus diakui juga, ada bagian-bagian hikmat yang ada di dalam Kitab ini berasal dari zaman sesudah Salomo. Maka, tidak salah dan dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dari Kitab Pengkhotbah ada penyempurnaan mulai dari zaman Salomo sampai Zedekia.

Thema utama Kitab Pengkhotbah adalah kesia-siaan. Menurut redaktur segala sesuatu dipandang sia-sia. Hikmat dan kebodohon juga dipandang sebagai kesia-siaan, begitu juga dengan kekayaan juga adalah kesia-siaan. Banyak kesia-siaan dalam perjalanan hidup manusia. Akan tetapi, Kitab Pengkhotbah juga berisikan mengenai pengajaran hikmat yang benar dan mengajarkan bahwa hikmat melebihi kekuasaan.

Perikop kita berbicara mengenai pedoman-pedoman hikmat (menurut LAI). Pada pasal 11 ayat 1-6 ini kita mendapati isi yang merupakan kalimat hikmat yang berdiri sendiri dan memerlukan tafsiran sesuai dengan isi dan relevansinya kepada kehidupan manusia. Kolektor/redaktur kalimat-kalimat hikmat ini sudah menganggap pentingnya kalimat yang didokumentasikan ini, dan tugas kita adalah menemukan makna yang dikandungnya.

Ayat 1: Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali lama setelah itu.
Di sekitar kita, khususnya di Israel jenis roti macam apapun jika dimasukkan ke air pasti akan hancur, dan orang akan kesulitan untuk mendapatkannya kembali. Tetapi Pengkhotbah menyampaikan akan mendapatkannya kembali. Apakah sama jika roti dibuang ke tinta atau air comberan? Pasti tidak, karena roti tersebut tidak dapat dimakan lagi. Makna yang ingin disampaikan oleh Pengkhotbah disini adalah tentang pekerjaan dan manusia. Ada pekerjaan yang seharusnya tidak perlu dikerjakan dengan bersusah payah, namun dilakukan dengan bersusah payah. Hal ini tercermin dari roti yang dipakai Pengkhotbah dalam kalimat hikmatnya, bahwa roti yang sudah menjadi barang baku siap makan, tanpa harus dibuat ke air sudah dapat dimakan. Kalaupun diinginkan ke air biasanya cukup dengan dicelup, dan adalah kebodohon jika dengan dibuang ke air, meskipun akan memperolehnya kembali namun dengan waktu yang sangat lama dan memakan banyak tenaga.

Pdt. Jansen Simanjuntak, STh
Banyak warga jemaat yang beranggapan dengan memberi kepada Tuhan lewat gerejaNya, pasti akan memperoleh kembali apa yang diberikannya bahkan berlipat ganda. Sama seperti melempar batu ke gunung, batu itu pasti akan menggelinding kembali ke bawah. Apakah ini juga yang dimaksudkan Pengkhotbah?

Pdt. DR. Langsung Sitorus, MTh
Bisa saja demikian, hanya dibutuhkan proses. Untuk itu, jangan memperlama apa yang bisa dikerjakan dengan cepat, dan jangan menghambati apa yang bisa diperoleh dengan sesegera mungkin dalam kehidupan kita.

Ayat 2: Berikanlah bahagian kepada tujuh, bahkan kepada delapan orang, karena engkau tidak tahu malapetaka apa yang akan terjadi di atas bumi. Mengapa 7 atau 8 tidak kepada semua? Pengkhotbah membayangkan kita memiliki sesuatu yang bisa diberikan dan berguna kepada orang lain. Jadi siapapun orangnya yang memiliki sesuatu yang melebihi kebutuhannya, dipanggil untuk memiliki rasa solidaritas dan bersosial; menderma kepada orang lain. Angka 7 dan 8 menggambarkan bahwa objek penerima tidak cukup yang kita bayangkan saja. Karena di luar itu masih ada lagi yang membutuhkan apa yang kita miliki. Mengapa diwajibkan, karena kita tidak tahu malapetaka yang akan datang, sehingga apa yang kita miliki dan dibutuhkan orang lain tidak sempat dirasakan orang lain. Jadi, orang yang berhikmat benar-benar tahu menempatkan hartanya sebagai fungsi sosial. Harta tidak hanya material, tetapi juga talenta, kelebihan, pikiran, dan apa yang kita miliki dalam hidup ini. Maka, adalah pangilan kita untuk mengelalah apa yang kita miliki menjadi berfungsi secara sosial bagi orang lain.
Ayat 3: Bila awan-awan sarat mengandung hujan, maka hujan itu dicurahkannya ke atas bumi; dan bila pohon tumbang ke selatan atau ke utara, di tempat pohon itu jatuh, di situ ia tinggal terletak. Kondisi yang ada saat sekarang ini adalah pohon yang belum waktunya tumbang, secara paksa dipindahkan ke pusat-pusat industri dan panglong. Pengkhotbah mau mengingatkan kita tentang keberadaan Hukum Alam yang terjadi secara almai dan normal di tengah-tengah peradaban hidup manusia. Ketahuilah, siapa yang secara bijak dan penuh hikmat mengelolanya akan memperoleh sukacita, keberuntungan dan bahagia. Sama seperti barangsiapa yang tahu memuji Tuhan, dia pasti akan menggunakan tenaganya untuk melakukan yang baik. Pengkhotbah memesankan jika pohon tumbang, maka kita tidak perlu bersusah payah mencarinya kemana-mana. Pohon itu akan tetap ditempatnya jatuh, artinya jangan berlaku bodoh untuk mengelola keadaan hidup yang sejalan secara linear dengan alam. Yesus pernah berpesan, kalau padi menguning pasti siap dipanen dan siapa yang terlambat akan mendapati dirinya rugi. Di dunia sekitar kita hidup, banyak hukum alam yang hadir menyapa kita; tugas dan tanggungjawab kita adalah untuk mengelolanya agar mendatangkan berkat dan jangan sampai kita menjadi korban.

Pdt. Jansen Simanjuntak
Orangtua dulu atau nenek moyang kita hidup dengan mengenal dan membaca tanda-tanda alam. Mereka bekerja sesuai “petunjuk” dari alam. Misalnya dengan perpindahan rayap dari tempat yang satu ke daerah yang lain bertanda ada perubahan iklim. Bagaimana dengan saat sekarang ini? Sepertinya manusia semakin jauh dari alam, apakah ini bagian dari indikasi semakin jauhnya manusia dari Tuhan?

St. Raja PS. Aruan, SH, MH
Dengan bergesernya paham manusia, maka mempengaruhi perkembangan teknologi sebagai alat bantu manusia saat ini melakukan pekerjaannya. Misalnya soal perpindahan rayap, manusia sekarang tidak perlu harus mengamatinya baru mengetahui perubahan iklim. Setiap hari manusia sudah dapat mengaksesnya lewat internet dan BMG. Jadi, dengan teknologi modren saat ini manusia sudah dan hampir melupakan hampir melupakan atau meninggalkan tanda-tanda yang ada pada masa lalu. Menurut saya, bukan karena manusia semakin jauh dari Tuhan.

Pdt. M. Lumban Gaol
Kehadiran alam yang bersahabat dengan manusia sudah semakin langka. Keadaan ini terjadi tidak terlepas dari hikmat yang disalahgunakan manusia untuk mengelola alam. Kemampuan manusia tidak lagi untuk mengelola melainkan menguasai demi kepentingan diri sendiri dan kelompok, sehingga terjadi kekacauan alam. Perubahan iklim oleh karena tidak lagi bisa dikelola manusia dengan hikmat akhirnya tidak lagi mendatangkan berkat baginya.

Pdt. DR. Langsung Sitorus, MTh
Saat ini ada penempatan waktu, misalnya Kalender. Tetapi, untuk mengenal Hukum Alam harus melalui alam sendiri. Oleh karena itu, siapa yang dapat mengenalnya akan dimudahkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaannya. Kelemahan kekristenan hari ini sulit membaca hukum alam, dan ini penting bagi orang Kristen untuk bersahabat dengan alam agar lebih berhikmat.

Ayat 4: Siapa senantiasa memperhatikan angin tidak akan menabur; dan siapa senantiasa melihat awan tidak akan menuai. Memperhatikan awan dan angin merupakan gambaran yang oleh Pengkhotbah dipakai untuk manusia yang pesimis dan yang baru memulai pekerjaannya dengan menanti-nantikan keadaan terlebih dahulu baik. Awan dan angin adalah gambaran kehampaan dan kekosongan. Maka, siapa berlaku demikian tidak akan pernah menuai dan memperoleh hasil, karena yang menuai hanya mereka yang melihat ladangnya yakni yang berani menghadapi segala kondisi real dalam kehidupan dan senantiasa tetap melaksanakan pekerjaannya. Begitu juga dalam menunaikan pekerjaan pelayanan di dalam Tuhan lewat HuriaNya HKI, melayani harus dimulai meskipun dalam kondisi yang bagaimanapun, tidak pesimis. Maka, pasti akan ada yang dituai. Ingat bagi para pelayan di HKI, jangan menabur angin, jika tidak ingin menuai badai, dan jangan menabur awan jika tidak ingin menuai penolakan dan minimya partisipasi dari jemaat. Begitu juga jangan menangkap yang kosong dari jemaat, tetapi dengan hikmat memilah yang baik dan benar. Lihatlah semangat Nommensen, semangat menabur di dalam Tuhan nyata telah menuai hasil yang dapat dinikmati hingga saat sekarang ini.

Sekjend
Apakah termasuik berangan-angan? Maksud Pengkhotbah yakni mengawali pekerjaan dengan mengasihi pekerjaan itu sendiri. Melihat awan, berarti melihat kehampaan. Perlu diingat bahwa sewaktu Yesus naik ke Sorga yang tampak tidak hanya awan tetapi juga Yesus ada di atasnya, begitu juga yang diberitakan ketika Ia akan datang kembali ke dunia. Pengkhotbah hendak berpesan agar dalam menjalani kehidupan kita harus memiliki tujuan yang benar dan baik, hidup tidak dijalani begitu saja tanpa arah seperti perjalanan awan yang diterbangkan angin.

Pdt. DR. Langsung Sitorus, MTh
Ayat 5: Sebagaimana engkau tidak mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim seorang perempuan yang mengandung, demikian juga engkau tidak mengetahui pekerjaan Allah yang melakukan segala sesuatu. Pesan Pengkhotbah ini disampaikan ketika itu manusia memang belum dapat dengan menggunakan pengelihatannya sendiri mengetahui jalan angin dan tulang-tulang dalam rahim ibu. Beda dengan saat ini, dengan teknologi yang ada gerak angin dan tulang-tulang dalam rahim sudah dapat diketahui dan dilihat. Apa artinya, seperti kerahasiaan jalan angin, seperti itu kerahasiaan jalan dan karya Allah bagi manusia. Berkembangnya teknologi oleh modrenisasi zaman, maka hal yang sama berlaku untuk iman kita. Iman kita harus dimodernisasi agar kita juga dapat lebih berhikmat untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman dan jalan Allah yang ada di dalamnya sehingga kita dapat mengenalnya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa secanggih apapun perkembangan modernisasi zaman, manusia tetap masih belum dan bahkan tidak akan mampu menelusuri kerahasiaan Tuhan. Rahasia kehadiran Allah tidak akan terpecahkan dan itu dizinkan Allah terjadi untuk kebaikan manusia semata. Misalnya, mengenai Trinititas, secanggih apapun peralatan iman kepercayaan kita untuk membedahnya, hasil yang kita dapati adalah kebuntuan dan tidak dapat dipecahkan serta akan tetap menjadi rahasia.

Ayat 6: Taburkanlah benihmu pagi-pagi hari, dan janganlah memberi istirahat kepada tanganmu pada petang hari, karena engkau tidak mengetahui apakah ini atau itu yang akan berhasil, atau kedua-duanya sama baik. Dalam tradisi orang Batak, untuk mengawali masa tanam adalah pada waktu naiknya matahari, yang dipercayai akan turut menaikkan dan menambahkan berkat bagi mereka. Pesan menabur benih adalah awal dari pemerolehan berkat Tuhan untuk yang melakukannya. Mengapa harus dipagi hari? Dalam peristiwa penciptaan, Allah menumbuhkan segala jenis tumbuhan di pagi hari (lih. Kejadian 1). Dan, secara alamiah kecambah yang baru ditanam hanya akan dapat tumbuh subur jika ditanam pada pagi hari. Lewat sinar matahari yang diterimanya, kecambah dapat memperoleh energi dan kebutuhan lainnya untuk masa pertumbuhannya. Jangan beri istirahat tanganmu pada petang hari, oleh Pengkhotbah memesankan kepada kita untuk memberikan diri kita mengisi senantiasa setiap waktu yang diberikan Tuhan untuk mendatangkan sukacita. Misalnya, jika jam selesai bekerja adalah pukul 3.00pm, maka waktu selebihnya hendaklah dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna dan mendatangka sukacita. Artinya kalau kita mau berkarya, maka mulai pagi sampai mata hari lenyappun kita harus tetap berkarnya. Tanamlah firman Tuhan pada bagi hari dan sempurnakanlah di malam hari di dalam doa dan syukur bagiNya. Karena kita tidak tahu apakah yang kita tanam akan berhasil atau tidak, untuk itulah perlu dengan penuh hikmat mengisi setiap waktu dengan bijak. Jika, waktu kita untuk menanam sudah petang, tidak lama lagi maka tanamlah yang sesegera mungkin dapat dituai, sehingga kita dapat merasakan hasilnya. Dan, jika waktu kita masih pagi, masih panjang maka hendaklah kita menanam yang buahnya dapat dipetik dan dirasakan oleh generasi yang akan menggantikan kehadiran kita. Amin. (yph)

(Bahan Renungan Kebaktian Pagi di kantor Pusat HKI yang dipimpin Ephorus/Bishop HKI)