Friday, October 22, 2010

SETIA MELAYANI: "SAHAT ULA TOHONAN MI"


(MENINJAU DASAR & EFEK DARI PELAKSANAAN

MUTASI/ROTASI PARA PELAYAN DI HKI)

OLEH: St. Raja PS. Janter Aruan, SH

I. Pendahuluan

Profesi pendeta dan pelayan gereja adalah suatu panggilan, bahwa menjadi pemberita Injil/Pengkotbah atau pendakwah didasari oleh suatu keyakinan akan keberadaan Tuhan Allah Chalik semesta alam ada berita keselamatan dan penghapusan dosa. Dipercayai dalam hal ini pelayan atau pekerja gereja adalah yang diutus dan menjadi Wakil Tuhan dan pasti mendapatkan upah dari Sang Pengutus. Kemudian Pemberitaan Injil diorganisir melalui para missionaris yang melahirkan berbagai aliran dan gereja-gereja.


Kita tahu bahwa Huria Kristen Indonesia (HKI) adalah suatu lembaga Gereja yang besar, lahir karena panggilan sejarah dan salah satu dari Gereja pejuang yang ikut serta dalam gerakan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ditandai dengan dianugrahinya gelar Pejuang Perintis Kemerdekaan kepada Pendeta HKI yaitu Tuan Manullang, rasa enggan dan tidak mau dipimpin oleh pelayan atau pendeta sibottar mata yang nyata-nyata dibonceng oleh penjajah, maka lahirlah Huria Christen Batak (HChB) berkedudukan di Pantoan Pematang siantar simalungun pada tahun 1927 yang kemudian dinasionalisasi menjadi Huria Kristen Indonesia pada Tahun 1946 lewat sinode di Patane Porsea.


II. Pembahasan

2.1. Latar Belakang Mutas/Rotasi

Kenyang dengan pengalaman pahit diasingkan dari komunitas Kristen secara nasional maupun internasional. Dengan pengalaman perjuangan yang panjang dan tidak kecil, HKI akhirnya mampu bertumbuh dan berkembang hingga saat ini. Lewat kemandirian teologi, dana dan daya HKI mampu memiliki asset dan harta benda yang tidak sedikit lagi HKI yang harus dikelola dengan baik. HKI kini telah berdiri di hampir seluruh provinsi di tanah air dengan memiliki jemaat sebanyak 734 dengan Resort sebanyak 127 yang semuanya diasuh dalam 9 Daerah yang dipimpin oleh Praeses. Untuk mencapai tujuan dalam melaksanakan tugas gereja, maka HKI mengangkat para pelayan yang ditahbiskan, terdiri dari: Pendeta, Guru Jemaat, Evangelis, Diakones, Bibelvrow, dan sintua (lih. Tata Gereja HKI bagian Anggaran Dasar Bab V pasal 14).


Oleh karenanya sudah pada tempatnyalah HKI juga harus menata diri dan melengkapi aturan-aturan guna maksimalisasi tujuan pelayanan di semua aras HKI. Bahwa kemudian pendeta dan pelayan gereja bukan lagi hanya sebagai panggilan, akan tetapi telah pula menjadi profesi atau lapangan pekerjaan. Dalam melaksanakan tugas panggilan gereja sudah pula harus memiliki staf dan para pelayan yang pada gilirannya harus diatur dan dipandang sebagai tenaga kerja yang membutuhkan fasilitas pengaturan kepersonaliaan khusus soal Mutasi dan Rotasi tersendiri yang dikenal dengan sebutan Peraturan Kepegawaian HKI yang diputuskan oleh Majelis Pusat HKI dengan nomor 208/II/MP/2001 khususnya pada Bab IX pada pasal 31.


2.2. Pengertian Mutasi/Rotasi

Sesungguhnya Mutasi dan Rotasi adalah perintah Tuhan kita Yesus Kristus yang Empunya Gereja. Perihal penginjilan dan pelayanan sesungguhnya telah dimulai sejak puluhan ribu tahun yang lalu dan dapat kita lihat dari pengalaman Abraham yang dipanggil Allah untuk pergi ke Tanah PerjanjianNya, Musa yang diutus untuk membawa keluar bangsa Israel dari perbudakan Mesir, para Nabi-nabi yang Allah utus untuk membebaskan umatNya hingga zaman Yesus bersama Murid-murid dan Para Rasul. Untuk itulah Yesus memberikan mandat dan mengutus setiap orang percaya, khususnya para pelayan gereja sebagaimana yang dituliskan dalam Injil Matius 28:19–20, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan babtislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Dan di dalam Kisah Para Rasul 1: 8, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun keatas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan Samaria dan sampai ke ujung bumi”. Dengan demikian tidak ada alasan bagi siapapun pelayan, khususnya di HKI untuk merasa tidak puas apalagi sampai dengan menolaknya.


Berikut saya sampaikan beberapa pemikiran tentang mutasi dan atau rotasi. Ada tiga pengertian mutasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka:

1. Dipandang dari segi administrasi mutasi boleh diartikan sebagai pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain,

2. Dari segi ilmu Biologi mutasi berarti adanya perubahan yang mendadak di kromosom.

3. Dari segi ilmu kedokteran, mutasi berarti adanya perubahan di bentuk, kwalitas atau sifat lain.


Menjadi topik kita kali ini adalah mutasi dipandang dari segi administrasi yang berarti adanya pemindahan pegawai atau pelayan dan pekerja Gereja dari satu tempat pelayanan ke tempat pelayanan lain.


Sedangkan pengertian rotasi berarti perputaran dan dalam pengertian lain rotasi berarti cara menananam berbagai jenis tanaman pada bidang tanah yang sama secara bergilir dalam jangka waktu tertentu. Dalam sistem managemen organisasi permanen mutasi dan rotasi sangat menentukan dan berdampak luas terhadap hasil kinerja yang mau dicapai, dalam pooling pendapat pegawai kota Malang menghasilkan lebih dari 58,7% variable mutasi dan rotasi sebagai pilihan untuk penyegaran dan peningkatan kinerja. Pada dasarnya menurut hemat saya, bahwa apa yang dilaksanakan oleh Pucuk Pimpinan HKI dalam hal pemindah tempatkan para pelayan di HKI adalah substansi dari pengertian mutasi/rotasi yang sesungguhnya.


Beranjak dari istilah “pucuk pimpinan” yang dipakai HKI untuk menyebut Ephorus dan Sekjend, jelas bahwasanya Ephorus dan Sekjend adalah central/pusat dari pengambilan keputusan di HKI dan itu bersifat absolut dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, termasuk dalam pemutasian para pelayan HKI. Dan hal ini secara jelas diterangkan dalama Tata Gereja HKI bagian Anggaran Rumah Tangga Bab IV pasal 12 ayat 18 diaturkan bahwa Pucuk Pimpinan bertugas salah satunya untuk memutasikan para pelayan dan diperkuat dalam Bab V pasal 20 ayat a – e. Pada ayat a dengan jelas disampaikan bahwa Pucuk Pimpinan berhak dan berwewenang menyelenggarakan mutasi bagi seluruh pelayan demi penyegaran dan pengembangan pelayanan. Artinya oleh hukum di HKI pun, Pucuk Pimpinan diberikan hak preogative (istimewa) untuk melaksanakan mutasi bagi para pelayan di HKI dengan berpedoman pada aturan dan peraturan HKI. Dan bukankah pada saat akan ditahbiskan sebagai pelayan di HKI di hadapan Kristus Kepala Gereja kita telah berjanji untuk siap mengemban mandat sebagai gembala yang harus mengingat prinsip dan semangat kependetaan untuk siap ditempatkan dimana saja, siap memberitakan Firman Tuhan dimana saja dan dalam segala kondisi, dan siap mati untuk Injil. Artinya bahwa mutasi dan rotasi itu adalah perintah bagi kita sebagai pelayan HuriaNya melalui Pucuk Pimpinan sebagai perintah Tuhan yang mesti diemban dengan penuh sukacita. Sebaiknya Penguatan Komitmen untuk Setia Melayani atau Sahat Ula Tohonan mi penting bagi pelayan untuk membangun frame minded agar tidak pernah dan tidak akan pernah merasa terganggu, tidak puas apalagi sampai menggalang opini jemaat dan atau para sintua menjadi alat menolak pemutasian yang telah ditetapkan oleh Pucuk Pimpinan. Bahwa menghalang-halangi dan berupaya menolak kebijakan pemutasian adalah sebagai upaya intervensi terhadap kewenangan Pucuk Pimpinan dan sebagaimana yang telah diaturkan dalam Peraturan Kepegawaian HKI pasal 31 ayat 6 tindakan tersebut dianggap pemutusan hubungan kerja oleh pelayan yang bersangkutan.


Berikut saya kutip Peraturan Kepegawaian HKI dan Aturan Rumah Tangga tentang mutasi oleh Pucuk Pimpinan:

A. Peraturan Kepegawaian tentang mutasi: Bab IX, pasal 31:

Ayat 1: Pimpinan Pusat HKI wajib melakukan evaluasi kepada Pendeta, Guru Jemaat, Evangelis, Bibelvrow, Diakones dan kepada semua unsur-unsur Pimpinan dari semuaaLembaga Badan Usaha HKI, untuk dasar penempatan dan Pemutasian.

Ayat 2: Penempatan Pendeta, Guru Jemaat, Evangelis, Bibelvrow, Diakones yang akan memimpin atau bekerja di Jemaat dan Lembaga/Badan usaha dan penempatan pegawai lainnya dilaksanakan oleh Pimpinan Pusat HKI (Ephorus dan Sekretaris Jenderal) sesuai degan Tata Gereja dan PRT HKI yang sedang berlaku.

Ayat 3: Pelaksanaan mutasi dilakukan yang bersangkutan, setelah hari dan tanggal pemutasian diterbitkan dan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan diterima berita resminya dari Pimpinan, atau Departemen/Lembaga/Badan Usaha yang bersangkutan dan perumahan harus dikosongkan. Diluar ketentuan ini, diatur tersendiri oleh Pimpinan Pusat HKI.

Ayat 4: Jika lalai melaksanakan ayat 3 pasal ini kepada pegawai tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa larangan bekerja (non Aktif)

Ayat 5: Setelah menjalani sanksi administratif, Pimpinan Pusat dapat mengktifkan kembali pegawai tersebut dengan penempatan yang baru atau memberlakukan apa yang tertera dalam ayat 1 pasal ini.

Ayat 6: Pegawai yang menolak penempatan atau pemutasian adalah melanggar peraturan kepegawaian HKI, dengan demikian telah memutuskan hubungan kerjanya dengan Gereja /Lembaga-lembaga/Badan Usaha HKI atas kehendak sendiri.

Ayat 7: Pegawai yang telah memutuskan hubungan kerjanya dengan Gereja/Lembaga-lembaga/Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 pasal ini, tidak dibenarkan bekerja di Gereja/Lembaga lembaga/Badan Usaha dimana saja dalam bentuk apapun.

Ayat 8: Pimpinan atau Kepala Unit yang memperkerjakan Pegawai sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 pasal ini baik berupa honorarium akan dikenakan hukuman jabatan bagi yang bersangkutan.


B. Tata Gereja HKI bagian Aturan Rumah Tangga Bab IV pasal 12 ayat 18:

Ayat 18: Mengangkat, memberhentikan, memutasi dan mempesiunkan para pelayan sesusai dengan peraturan di HKI


C. Tata Gereja HKI bagian Aturan Rumah Tangga Bab V pasal 20 ayat a-e:

Ayat a: Pucuk Pimpinan HKI berhak dan berwewenang menyelenggarakan mutasi bagi seluruh pelayan demi penyegaran dan pengembangan pelayanan dengan berpedoman kepada Peraturan yang berlaku di HKI.

Ayat b: Praeses memberi saran dan usul tertulis kepada Pucuk Pimpinan HKI untuk pertimbangan mutasi bagi seorang Pendeta, Guru Jemaat, Diakones, Bibelvrow di wilayah pelayanannya.

Ayat c: Pendeta Resort memberi saran dan usul tertulis kepada Praeses untuk pertimbangan mutasi bagi seorang Guru Jemaat, Diakones, Bibelvrow di wilayah pelayanannya.

Ayat d: Seorang Pendeta yang telah melayani paling lama 5 (lima) tahun dalam satu Resort dapat dimutasikan dan yang telah melayani 10 (sepuluh tahun) dalam satu Daerah, wajib pindah ke Daerah Lain.

Ayat e: Seorang Guru Jemaat yang telah melayani paling lama 10 (sepuluh) tahun dalam satu jemaat wajib pindah ke jemaat yang lain.


Ada beberapa akibat atau ekses kurang baik bila tidak dilakukan mutasi atau rotasi pada organisasi atau lembaga Gereja:

Saya sebut dengan istilah Kontrak Mati.

Istilah ini memang agak kasar untuk ditampilkan, tetapi bagi saya, justru kata inilah yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ekstrem dari tidak adanya kebijakan rotasi dalam suatu organisasi. Pendeta atau pelayan Gereja yang sampai dengan pensiun bekerja pada satu unit kerja tertentu, tanpa merasakan pengalaman bekerja pada unit kerja lainnya menurut saya adalah seorang yang sangat perkasa. Tentu yang bersangkutan adalah orang yang sangat kuat karena mampu menahan kejenuhan dan depresi yang luar biasa. Bagi mereka yang tidak tahan, pengalaman menunjukkan banyak pula yang meninggal dunia di pertengahan perjalanan, sebelum yang bersangkutan memasuki masa pensiun. Kondisi inilah yang saya sebut dengan Kontrak mati.


Dikenal dengan Chauvinisme sempit.

Ekses negatif lain dari tidak pernahnya seorang pendeta atau pelayan bekerja pada unit kerja lainnya, adalah timbulnya apa yang disebut chauvinisme sempit. Bekerja dan menikmati pengalaman melayani pada unit kerja yang sama, selama bertahun-tahun tanpa merasakan pengalaman melayani di tempat lain, akan dapat menimbulkan perasaan bahwa tempat yang bersangkutan melayani adalah resort/unit pelayanan yang paling hebat. Kebanggaan dan kesetiaan yang tumbuh terhadap jemaat pelayanan akan menimbulkan anggapan tempat pelayan lainnya sebagai unit kerja atau pelayanan yang tidak sehebat unit kerja dimana selama ini yang bersangkutan bertugas. Kondisi seperti ini akan menjadi lebih buruk lagi, jika pendeta/pelayan yang bersangkutan merasa dirinya paling hebat, karena tidak pernah melihat kinerja orang lain di tempat pelayanan lain. Kalau diamati, pelayan seperti ini seolah-olah seperti “katak dalam tempurung”. Ini sangat berbahaya dan tidak baik bagi budaya hamba Tuhan dan kelangsungan kinerja pelanan Gereja secara keseluruhan.


Akibat lain juga adalah Kejenuhan dan Depresi.

Lamanya seorang melayani pada daerah Resort, jemaat dan jabatan tertentu akan mengakibatkan kejenuhan dan depresi. Akibat lebih lanjut dari kondisi ini terhadap lembaga Gereja, tentu saja akan mengakibatkan kinerja dan pelayanan menurun. Sudah barang tentu, ini merupakan kerugian bagi visi Gereja.


Ada juga pemahaman mutasi/rotasi adalah hukuman.

Tidak adanya kebijakan rotasi atau sangat jarangnya dilakukan rotasi/mutasi, dapat menimbulkan efek negatif bagi suasana kejiwaan pendeta dan pelayan lainnya. Apabila pada suatu saat, kemudian Gereja melakukan mutasi kepada seseorang pendeta atau pelayan apakah dalam tataran pendeta resort maupun pekerjaan lainnya, maka pendeta dan atau pelayan lainnya yang dipindahkan dan para pendeta dan pelayan lainnya akan menilai bahwa itu adalah “hukuman” atas kesalahan yang dilakukan, atau yang bersangkutan memang tidak disukai. Bagi yang tidak dipindahkan mungkin akan berpikir “salah apa dia?”


Sesungguhnya mutasi dan rotasi itu sangat penting dan boleh berdampak peningkatan kualitas dan menjadi sarana pembinaan dan evaluasi yang terukur. Bahwa perputaran jabatan merupakan salah satu alat yang dapat digunakan oleh pihak manajemen lembaga organisasi tertentu (dalam hal ini Pucuk Pimpinan HKI). Ada beberapa keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh baik untuk pihak lembaga dan pelayan/pekerja yang bersangkutan, antara lain:


1. Sebagai sarana evaluasi penugasan pelayan.

Mutasi/Rotasi adalah alat yang penting dan efisien bagi pimpinan HKI untuk melakukan penilaian terhadap pejabatnya, apakah kinerja yang bersangkutan meningkat atau menurun dari jabatan lainnya yang pernah dipegangnya. Dari evaluasi ini pimpinan kantor akan mengetahui kecocokan jabatan yang paling tepat untuk diberikan kepada staf nya, sesuai dengan disiplin ilmu, keterampilan, dan karakter yang dimiliki. Dengan demikian, pimpinan dapat menempatkan pejabatnya pada jabatan yang paling tepat sesuai dengan kemampuannya (The right man on the right place). Tanpa melakukan Mutasi rotasi, maka pimpinan unit kerja pelayanan tentu tidak akan pernah tahu kemampuan dan kinerja pengerjanya.


2. Sebagai sarana meningkatkan produktivitas kerja.

Melalui Mutasi atau rotasi, pimpinan unit kerja Praeses atau lainnya akan tahu keunggulan dan kelemahan kinerja pengerjanya. Dari evaluasi/penilaian atas keunggulan dan kelemahan ini, maka pimpinan dapat menempatkan pelayan dalam jabatan yang tepat. Dengan demikian, produktivitas kerja yang bersangkutan akan maksimal pada jabatan barunya, dan pada gilirannya Gereja atau kantor unit kerja akan mendapatkan manfaat berupa meningkatnya produksi (out come) dengan bertambahnya orang orang ber iman dan bertumbuh nya Gereja Gereja yang dapat melayani secara menyeluruh pada gilirannya mensejahterakan warga jemaat.


3. Sebagai sarana pembinaan Pelayan Manfaat lain bagi kedinasan.

Mutasi dan rotasi dapat dijadikan sebagai alat untuk membina para pelayan. Sebagai contoh, pendeta yang ditempatkan pada jabatan tertentu ternyata telah sering melakukan kesalahan, maka pimpinan dapat melakukan pembinaan dengan memutasikan atau merotasi yang bersangkutan pada jabatan lain.


4. Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan HKI.

Mutasi dan Rotasi dapat digunakan pula sebagai sarana untuk memperkokoh HURIA Kristen Indonesia Pelaksanaannya dilakukan dengan memberikan kemungkinan untuk memindahkan pejlayan dari satu daerah ke daerah lainnya di seluruh wilayang dimana HKI tumbuh dan berkembang . Misalnya pejabat pendeta resort dari Riau dipindahkan ke Jakarta, atau pendeta dari Parlilitan di pindahkan ke Bandung dan sebagainya. Melalui cara ini, maka para pelayan dan pendeta HKI terikat dalam rasa persatuan dan kesatuan kerja dalam bingkai Huria Kristen Indonesia.


Mutasi juga bermanfaat bagi kepentingan Pelayan sendiri di antaranya adalah sebagai berikut:

Memperluas pengalaman dan kemampuan.


1. Dengan banyaknya perpindahan jabatan yang dialami oleh pengerja atau pelayan, maka dapat dipastikan yang bersangkutan akan memiliki banyak pengalaman. Pengalaman tersebut, diharapkan akan meningkatkan kemampuan baik pengetahuan (knowledge) maupun keterampilan (skill).


2. Menghilangkan hambatan psikologis pelayan.

Mutasi dan Rotasi akan dapat memberikan kesegaran baru bagi pejabat. Rasa jenuh dan depresi yang menghimpit karena kelamaan bekerja pada jabatan tertentu diharapkan akan hilang, setelah dilakukan mutasi/rotasi. Suasana kerja baru diharapkan dapat memicu motivasi untuk maju dan mendatangkan tingkat produktivitas kerja yang lebih baik lagi. Tantangan-tantangan baru dari tugas di tempat pelayanan baru, diharapkan akan mendorong yang bersangkutan untuk bekerja lebih giat lagi.


3. Kepentingan warga Jemaat.

Bagi Jemaat Mutasi dan rotasi diharapkan akan memberikan keuntungan antara lain cepatnya layanan jasa kepada mereka. Pendeta /pengerja dan pelayan yang terlepas dari kejenuhan dan merasa fresh dalam menjalankan tugasnya yang baru akan memberikan pelayanan yang jauh lebih baik daripada mereka yang selama bertahun-tahun melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama pula.


2.3. Strategi Keberhasilan Kebijakan Mutasi/Rotasi

Dari gambaran di atas, maka rotasi perlu realisasikan menjadi suatu kebijakan dalam sistem penyelenggaraan personalia dan kepegawaian pelayan dan pengerja di HKI. Agar kebijakan ini dapat berjalan dengan baik, di bawah ini saya disampaikan beberapa strategi untuk menunjang keberhasilan kebijakan mutasi/rotasi, di antaranya sebagai berikut:


1. Kebijakan mutasi/rotasi perlu diatur dalam sebuah peraturan yang lebih baik, konprehensif dan memiliki legalitas yang kuat.

2. Praeses berkewenangan merekomendasikan mutasi non reguler para pelayan di lingkungan daerahnya sesuai dengan penilaian kinerja pelayan sesuai dengan Tata Gereja bagian Aturan Rumah Tangga Bab V pasal 20 ayat b: “Praeses memberi saran dan usul tertulis kepada Pucuk Pimpinan HKI untuk pertimbangan mutasi bagi seorang Pendeta, Guru Jemaat, Diakones, Bibelvrow di wilayah pelayanannya”

3. Perlu adanya sosialisasi, konsolidasi dan internalisasi pemahaman yang merata bagi setiap pelayan dan pengerja yang ada di HKI, sehingga memiliki pemahaman yang benar tentang proses pemutasian sebagai berkat Allah juga.

4. Seluruh Pendeta, pengerja dan pegawai harus “legowo” untuk menerima kebijakan mutasi/rotasi. Siapapun harus siap ditempatkan di setiap medan pelayanan HKI mulai dari jemaat, resort hingga daerah dan badan usaha milik HKI dengan posisi/jabatan yang berbeda

5. Semua stakeholders dan warga jemaat HKI harus memiliki persepsi yang sama perihal kebaikan dan tujuan kebijakan mutasi/rotasi yang ditetapkan oleh Pucuk Pimpinan.

Pentingnn keuangan di HKI lewat sistem sentralisasi. Untuk menghindari kekuatiran setiap pelayan dan pengerja di HKI terhadap tempat pelayanan yang baru.


III. Kesimpulan

1. Mutasi dan Rotasi perlu dilakukan untuk kepentingan HKI, pelayan yang bersangkutan maupun Jemaat. Oleh karena itu, mutasi/rotasi harus dijadikan sebagai kebijakan yang wajib diterapkan secara reguler.

2. Mutasi dan Rotasi merupakan Hak dan Wewenang Istimewa Pucuk Pimpinan sebagai salah alat pembinaan dan penghargaan yang dapat dilakukan menurut penilaian dan kebijakan Pucuk Pimpinan dengan berpedoman pada Tata Gereja HKI bagian Anggaran Rumah Tangga Bab IV pasal 12 ayat 18 dan Bab V pasal 20 khususnya ayat a dan b, serta Peraturan Kepegawaian HKI Bab IX, pasal 31.

3. Perlu kearifan semua pihak untuk menerima konsep kebijakan mutasi dan rotasi sebagai hal yang positif dan membangun untuk mewujudkan Pengembangan HKI selaras dengan Tugas Panggilan Gereja.

Tuhan memberkati!