Tuesday, February 17, 2009

Artikel MBW Edisi Pebruari - Maret 2009

Undang-Undang Anti Pornografi
“Ancaman Bagi Kesatuan Bangsa Indonesia”

Pandangan oleh St Raja PS Janter Aruan, SH.
Majelis Pusat HKI / Majelis Pekerja Harian PGI Wil.Sumut/ Ketua BKAG Kota P.Siantar


Pendahuluan.

Adalah suatu kepatutan dan bahkan kewajiban seorang warga Negara yang baik untuk selalu berpikir dan mengawal dan menghindarkan bangsa ini dari kemungkinan perpecahan,keputusan pemimpin yang mungkin kontra produktif terhadap Visi dan Missi bangsa ini, harus dikritisi diberikan saran dan solusi atas masalah yang mungkin terjadi. Bahwa Undang–undang Pornografi (UUP) yang telah menelan bigitu besar dana akhirnya telah disyahkan oleh DPR–RI dalam minggu pertama bulan Nopember 2008 ini, Yang mungkin untuk selanjutnya diberlakukan setelah ditandatangani oleh bapak Presiden Meskipun mendapat berbagai sanggahan dan penolakan dari berbagai kelompok masyarakat dan daerah sejak masa penyusunan UUP itu, DPR-RI dengan system mayoritas – minoritas suara terus juga melaksanakan pengesahan UUP tersebut. Penolakan atas UUP tersebut telah semakin nyata dan meluas dari berbagai daerah seperti Provinsi Bali, Irian Jaya, dan Sulawesi Utara. Penolakan yang tampaknya keras ialah dari Irian Jaya, yang sampai mengancam keluar dari NKRI jika UUP itu disyahkan dan diberlakukan.

Bahwa Pembahasan RUU Anti Pornografi ini sudah dimulai sejak tahun 1997 di DPR. Dalam perjalanannya draf RUU ini pertama kali diajukan pada 14 Februari 2006 dan berisi 11 bab dan 93 pasal sebagai Rancangan Undang Undang Pornografi dan Porno Aksi yang disingkat RUU APP.

Pornografi dalam rancangan pertama didefinisikan sebagai "substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika" sementara pornoaksi adalah "perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum".

Pada draf kedua, beberapa pasal yang kontroversial dihapus sehingga tersisa 82 pasal dan 8 bab. Di antara pasal yang dihapus pada rancangan kedua adalah pembentukan badan antipornografi dan pornoaksi nasional. Selain itu, rancangan kedua juga mengubah definisi pornografi dan pornoaksi. Karena definisi ini dipermasalahkan, maka disetujui untuk menggunakan definisi pornografi yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan) yang secara harafiah berarti "tulisan atau gambar tentang pelacur". Definisi pornoaksi pada draft ini adalah adalah "upaya mengambil keuntungan, baik dengan memperdagangkan atau mempertontonkan pornografi".

Dalam draf yang dikirimkan oleh DPR kepada Presiden pada 24 Agustus 2007, RUU ini tinggal terdiri dari 10 bab dan 52 pasal. Judul RUU APP pun diubah sehingga menjadi RUU Pornografi. Ketentuan mengenai pornoaksi dihapuskan. Pada September 2008, Presiden menugaskan Menteri Agama, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan untuk membahas RUU ini bersama Panitia Khusus DPR. Dalam draf final yang awalnya direncanakan akan disahkan pada 23 September 2008, RUU Pornografi tinggal terdiri dari 8 bab dan 44 pasal.

Pada RUU Pornografi, defisini pornografi disebutkan dalam pasal 1: "Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat." Definisi ini menggabungkan pornografi dan pornoaksi pada RUU APP sebelumnya, dengan memasukkan "gerak tubuh" kedalam definisi pornografi dan ini semua sebenarnya adalah menyangkut masalah kultur budaya bahkan Keyakinan atau Agama.

Bahwa Budaya adalah yang memberi ciri khas pada suatu Bangsa. Apa yang membedakan Manusia Indonesia dari Manusia India dan Indo-Cina? Padahal, semuanya berada dalam satu wilayah peradaban yang sama: The Indus Valley Civilization, Wilayah peradaban Sindhu? Budaya. Budaya-lah yang membedakan Bangsa India dari Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia dari Bangsa-Bangsa Indo-Cina, entah itu Cambodia, Thailand, Vietnam atau Burma. Boleh jadi ada kemiripan antara Budaya kita dengan Budaya-Budaya lain yang disebut di atas. Kemiripan itu wajar, karena kita semua masih berada dalam satu wilayah peradaban yang sama. Namun, kemiripan itu tidaklah membuat kita photo-copy dari bangsa-bangsa lain. Lalu, sebenarnya Budaya itu apa?Budi dan Daya..... Budi atau Buddhi dalam Bahasa Sanskrit, berarti Pikiran yang Sudah Diolah, Pikiran yang Jernih, Mind yang telah Tercerahkan. Itulah arti Buddhi.Daya berarti Upaya atau Kegiatan, bisa juga diartikan sebagai “Perilaku”.

Namun, Daya bukanlah Upaya biasa. Daya bukanlah Kegiatan sembarang. Daya bukanlah Perilaku apa saja. Daya adalah penggalan dari kata Hridaya dalam bahasa Sanskrit; berarti Hati. Bukan Hati-Jantung, bukan pula Hati-Liver, tetapi Hati Nurani. Dalam bahasa asing, “Psyche”. Berarti, Upaya, Tindakan, atau Perilaku yang sesuai dengan Hati Nurani itulah Daya. Maka, Budaya berarti: Upaya, Tindakan, atau Perilaku yang dituntun oleh Pikiran yang Jernih dan sesuai dengan Kata Hati-Nurani.
Saya coba gali dulu aspek Positif dan negative dari UUP itu dalam kajian yang sederhana.

ASPEK POSITIF
Sebagaimana terkandung dalam Pasal 3, UUP itu, aspek positifnya ialah : Meniadakan dan mencegah kemerosotan moral bangsa Indonesia yang disebabkan oleh berbagai produk pornografi.

ASPEK –ASPEK NEGATIF
Secara pokok, aspek-aspek negative yang paling merugikan, bahkan membahayakan NKRI adalah, yang berikut :
1. Ditilik defenisi pornografi yang dikemukakan pada Pasal 1 , khususnya ayat 1, terlalu meluas sehingga tidak mudah dipahami secara tepat arti dan mengakibatkan kekacauan dalam pelaksanaan UUP itu. Antara lain :

1.1 Gerak tubuh
Gerak tubuh yang mana dan bagaiman yang termasuk kecabulan atau eksploitasi seksual? Jika gerak tubuh tertentu merupakan kebiasaan (budaya) pribadi, apakah ini termasuk pornografi? Dan jika gerak tubuh itu merupakan bagian dari seni tari, apakah ini pornografi?

1.2 Gambar, Foto, Patung, Film
Dalam Seni Lukis, seni foto, dan seni patung, sering gambar atau lukisan atau patung orang telanjang atau setengah telanjang yang dilukis, atau film didasarkan pada cerita sesungguhny apakah ini pornografi, padahal hasil karya seni?

1.3 Suara, Bunyi
Suara dan bunyi yang bagaimanakah yang dianggap menimbulkan kecabulan atau eksploitasi seksual? Apakah tidak terlalu sulit menentukan aspek ini secara hukum?

1.4 Tulisan
Tulisan yang bagaimana, dan yang mana yang dianggap kecabulan atau eksploitasi seksual? Apakah hal ini tidak mematikan kreativitas dalam karya sastra, termasuk penulisan novel?
2. Pasal 4, Pasal 10, Pasal 19 ayatC, Pasal20, Pasal 21 ayat 1 dan Pasal 43 mengandung kata-kata dan frase yang membingungkan dan dapat menimbulkan kekacauan fatal dalam pelaksanaan UUP.

2.1 Pasal 4
Arti frase “ tampilan yang mengesankan ketelanjangan” tidak jelas benar, dan dapat ditafsirkan sangat subjektif sehingga sulit digeneralisasi sebagaimana tuntutan suatu UU. Di Samping itu, hal lesbian dan homoseksual menurut WHO dan keputusan Departemen Kesehatan RI bukan lagi termasuk persenggamaan.

2.2 Pasal 10
Frase “menggambarkan ketelanjangan dan eksploitasi seksual” sebagaimana disebut pada (1) Pasal 4 di atas dapat bertafsiran sangat subjektif dan sulit digeneralisasi.

2.3 Pasal 19 ayat C
Arti Frase berbagai pihak dapat menimbulkan konflik, karena artinya tak jelas.

2.4 Pasal 20
Yang memberi peran kepada masyarakat untuk berbuat dapat menimbulkan milisi-milisi kelompok masyarakat tertentu yang dapat menimbulkan konflik perpecahan masyarakat dan bangsa.

2.5 Pasal 21 ayat 1
Kata “Dapat” mengandung arti kleseibilitas, tidak pasti sehingga dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.

2.6 Pasal 43
Kata “sendiri” dalam pasal ini bertentangan dengan penjelasan pada pasal 6 yang mengatakan “tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri”

3. UUP ini secara umum, sebagaimana terlihat dari contoh-contoh diatas, sangat kurang mempertimbangkan factor-faktor individual (pribadi), padahal secara psikologis, masalah-masalah seksual pada dasarnya sangat erat hubungannya dengan factor-faktor psikologis dan pribadi. Karena itu, sangat sulit mengadakan generalisasi tentang masalah-masalah seksual. Setiap individu memberi respons yang berbeda terhadap stimulus seksual dari individu lainnya, terutama karena stimulus itu berkaitan terutama dengan emosi individual.

4. UUP ini agak melupakan bahwa hasrat seksual adalah factor kemanusiaan yang mendasar, karena tanpa adanya hasrat seksual, keluarga tidk akan berkembang dan selanjutnya juga bangsa dan Negara, dan cintapun tak akan ada

5. UUP ini juga kurang memperhatikan heterogenitas (perbedaan) cultural dan social bangsa Indonesia. NKRI adalah berdasarkan Pancasila dari UUD 1945, yang mengakui dan menekankan perlunya memlihara keberagamaan bangsa dan bumi Indonesia. Aspek-aspek seksualitas juga tercakup dalam keberagamaan itu. Jadi, tidak tepat jika ada usaha konstitusional yang cenderung menyeragamkan aspek-aspek sosio – cultural bangsa ini. 6. Candi Sukuh, Ceto, Lingga dan Yoni, Gambar Nabi Adam dan Hawa, Gambar Yesus Tuhannya Orang Kristen dan Katolik dan Kitab Kidung Agung dari Kitab Suci Kristen dan Katolik serta Patung Budha dan Dewa-Dewi Hindu, Budha dan Konghucu bahkan Tugu Monas - semuanya bisa dianggap porno. Seorang penari Jawa, Sunda, Batak atau Bali bisa dianggap membangkitkan gairah seksual.

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Dari hal-hal yang dikemukakan di atas jelas bahwa UUP lebih banyak merugikan bangsa dan Negara ini dari pada meguntungkan bahkan menjadi ancaman kesatuan dan persatuan bangsa.

7.2 Karena lebih banyak merugikan bahkan menjadi ancaman , UUP itu sebaiknya tidak dilaksanakan, ditinjau kembali dan atau dibatalkan.

7.3 Cara terbaik untuk membina dan mengembangkan moralitas yang baik termasuk menghindarkan perilaku seksualitas yang salah, ialah Pendidikan bermutu untuk semua, baik formal maupun informal. Peningkatan pendidikan scara terus menerus berkesinambungan sehingga menjadi citra budaya secara nasional bukan dadakan dan dipaksakan seakan merampas kekayaan budaya yang ada. Dana yang demikian besar membuat undang-undang lebih baik dipergunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional secara berkesinambungan (Continious Quality Inprovement) dengan curriculum yang lebih baik, terencana dan matang bukan coba coba. Selamat berjuang …………………. Syaloooom .
Disampaikan sebagai catatan pada acara “Gereja dan Politik”HKI Daerah 1 Sumatera Timur I05 Desember 2008.