Tuesday, February 17, 2009

Artikel MBW Edisi Pebruari - Maret 2009



GEREJA DAN POLITIK
(Oleh: Pdt.Marhasil Hutasoit, MTh)

Pendahuluan

Bolehkah orang Kristen berpolitik? Jawabannya beranekaragam. Sebagian menganggap politik identik dengan kekacauan, perseteruan, persekongkolan dan permusuhan; penuh tipu muslihat, dilakukan penuh pesona untuk memikat tetapi hanya demi ambisi dan kepentingan pribadi1 Pandangan ini bertolak dari keharusan untuk hidup suci ("yang kudus") yang seharusnya terhindar dari taktik dan jargon duniawi. Mereka berpendapat bahwa orang Kristen berpolitik akan menimbulkan apa yang disebut sebagai "cognitive dissonance," sebuah keanehan, ketidakcocokan tentang peran.

Di sisi lain, politik dipahami sebagai kemauan bersama untuk membangun dan memelihara polis. Politik berasal dari bahasa Yunani (politea) yang dimaknai sebagai seni dan ilmu yang berkaitan dengan keteraturan dan keindahan membangun polis ("kota") tempat di mana kehidupan bersama dapat dibina dan dikembangkan. Yang setuju dengan pandangan ini mengatakan bahwa politik itu tidak kotor meski sering digunakan dengan cara kotor. Politik dalam arti sesungguhnya bukanlah kotor melainkan pelaksana politik itu sendiri ternyata ada yang memiliki sepak terjang yang kotor. Kalau politik selalu kotor, maka tak akan terjadi pemerintahan demokrasi di mana pun. Adalah sebuah tindakan irrasional untuk selalu main kotor dalam politik, karena dalam politik juga diperlukan kompromi dan perundingan, karena "political capital" (modal politik) setiap orang bukannya tidak terbatas. Seperti kata pepatah, "sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak akan dipercaya," politikus juga mengerti bahwa bermain kotor akan berbahaya untuk karir politik mereka.

Dari kedua pandangan tersebut, dapat diasumsikan bahwa sikap pandang orang kristen (gereja) dalam mengambil peran masih belum jelas bahkan acap kali menampilkan sikap mendua (ambigu.). De Civitate Dei (kota Allah) karya Agustinus (abad ke 4 M) bertolak dari asumsi bahwa ada pertentangan antara Kerajaan Allah di satu pihak dan kerjaan duniawi di pihak lain. Dengan sendirinya politik dilihat sebagai urusan duniawi yang sedang berlalu (pandangan ini kemudian dikoreksi dan diluruskan oleh Bapak-bapak gereja). Oleh sebab itu tulisan ini diharapkan menjadi bagian dari sejumlah upaya memperluas khasanah berpikir kita untuk memahami politik demi pelayanan gereja di tengah-tengah kancah politik yang terus menggelinding di semua aras kehidupan.

Konsepsi Teologis

Adakah dasar-dasar Alkitab dan teologi yang dapat menjelaskan keterlibatan gereja dalam politik? Menjawab pertanyaan ini tidak mudah! Untuk itu perlu dicatat beberapa hal: Orang Kristen purba enggan memasuki panggung politik, hal ini disebabkan pemahaman eskhatologisnya yang sempit tentang tibanya Kerajaan Allah yang dinantikan dalam waktu yang sangat dekat. Dalam salah satu doa yang ada dalam Kitab Didache (thn 100) kita menemukan ungkapan "datanglah KerajaanMu dan biarlah dunia ini binasa". Kata ekklesia (dipanggil keluar) mendapat tekanan pada kata "keluar"nya. Bagi jemaat purba, negara laksana binatang yang keluar dari dalam laut (Why 13:1 diinterpretasikan secara sempit). Orang-orang Kristen mengaku bahwa mereka hanyalah orang-orang asing saja di atas bumi sementara ini dan sedang mencari-cari tanah airnya yang sejati. Tertulianus dalam Apologia 38 mengungkapkan "tidak ada yang lebih asing bagi kita selain dari urusan politik"

Pandangan di atas tampaknya memberi kesan bahwa orang kristen tidak perlu terlibat dalam politik. Tetapi apakah sungguh demikian? Sebenarnya tidak! Walaupun sangat jelas bahwa orang Kristen mengambil jarak terhadap politik, namun pada saat yang sama mereka mempunyai pendirian-pendirian politik. Pengakuan bahwa Kristus adalah (Kurios = Tuhan) dalam Filipi 2:11, pada hakikatnya adalah suatu pernyataan politik. Mengapa demikian? Karena di atas tahta Romawi bertahtalah pula seorang yang menamakan dirinya Kurios. Nats Ibr 11:16 "karena Ia telah mempersiapkan kota (polis) bagi mereka. Ia melancarkan politik yang menyelamatkan dan menentukan.

Jawaban Jesus "berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah" adalah penegasan bahwa orang Kristen tidak pernah dilarang untuk memenuhi kewajibannya kepada negara termasuk dalam peran aktifnya dalam politik. Politik dipahami sebagai instrumen mewujudkan Bonum Commune yang artinya kesejahteraan umum. Jeremia 29:7 mengatakan "Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu". Maka panggilan sejati seorang politisi adalah menjadi pelayan dalam mengusahakan kesejahteraan umum. Kesejahteraan bersama harus menjadi cita-cita yang senantiasa diperjuangkan bukan demi kepentingan kelompok tertentu atas dasar mayoritas dan minoritas.

Anjuran untuk taat kepada Pemerintah seperti dituliskan dalam Surat Roma harus dipahami dalam rangka hubungan antara rakyat dengan negara dengan mengacu pada "tanggungjawab" dan "partisipasi". Tujuh ayat pertama dari Roma 13 itu memberikan cetak biru kerangka dasar
hubungan orang Kristen di Roma dengan penguasa ketika itu — Imperium Romawi. Orang Kristen Roma tidak menjalankan kekuasaan politik dalam pengaturan hal-hal sekuler; keikutsertaan mereka sangat terbatas. Namun mereka diajak untuk kritis dan proaktif; mereka taat bukan sekedar takluk, tetapi karena ada tanggungjawab pribadi dalam mempertahankan tata kehidupan bersama. Tanggungjawab itu mencakup keikutsertaannya di dalam proses kehidupan setiap hari. Mereka harus turut berpartisipasi sebagai bentuk kemampuan dan kemungkinan melancarkan kritik demi perwujudan kebahagiaan bersama. Pemahaman tersebut hendak menegaskan bahwa ternyata orang Kristen tidak dapat melarikan diri dari pilihan-pilihan politik. Mengharamkan politik berarti menghindar dari kegiatan dalam negara.

Perumusan Pemahaman

Berbicara mengenai politik pada intinya berbicara tentang relasi antar manusia baik secara individu maupun kelompok, yang terikat pada pusat-pusat kekuasaaan tertentu yang mengatur keseimbangan antara kepentingan yang berbeda. Tanpa melakukan reposisi politik, atau memaknai politik dalam presfektif yang benar, gereja dan umat Kristen akan terpuruk dan terjerumus dalam kubangan persoalan relasi yang kacau dan semrawut.
Politik bukan semuanya, tetapi untuk melihat dan memahami semuanya, yaitu kebulatan kehidupan masyarakat, orang tidak bisa menghindar dari politik. Politik pada dasarnya bukanlah kotor; dan merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari. Mesti diusahakan untuk membuat "perimbangan" agar tercipta keseimbangan untuk melihat sisi politik yang sungguh manusiawi dan bersifat membebaskan. Menjadi tugas gereja memberi bobot dalam politik sebagai penyangga dan penjaga kesucian harkat dan martabat manusia yang setiap hari terdapat kemungkinan untuk dilanggar dan dilecehkan dalam relasi-relasi yang tidak adil karena ambisi dan kompetisi. Gereja diharapkan menjadi rumah moral bagi partai politik dan para elite politik; jembatan komunikasi antara rakyat dan pemerintah.

Atas kesadaran perlunya peran politisi dalam penatalayanan gereja dalam negara, maka akhir-akhir ini ada 4 pilihan wacana yang disuguhkan: Pertama, mempertaruhkan wacana Kristen habis-habisan secara total-frontal tanpa kompromi. Baik bentuk maupun isi mesti mengunakan dalil dan simbol-simbol kristen. Diharapkan dengan sebuah kendaraan partai politik Kristen maka keterlibatan politik umat Kristen dapat terjamin. Kedua, wacana netral dan bercorak sekuler denggan menawarkan gagasan non agamis seperti demokrasi, emansipasi, keadilan sosial, hak-hak asasi manusia. Wacana ini umumnya muncul dikalangan intelektual dan akademisi yang menganggap wacana keagamaan dan wacana ideologis kurang luas mewadahi wacana modern di masyarakat. Ketiga, wacana yang dikembangkan dari basis Pancasila. Pancasila dikenal selaku pilihan kompromi antara system agama dan system sekuler - jalan tengah yang dibangun untuk mempertemukan perbedaan dari suku dan agama. Bertolak dari sejarah sosial budaya Bangsa Indonesia yang bermuara pada semangat gotong-royong dan harmoni sosial yang selama berabad-abad dihayati dalam kehidupan desa-desa. Keempat, wacana yang benar-benar terbuka bagi semua hal yang hidup dalam masyarakat, memberi perhatian kehidupan agama. Memberi perhatian positif bagi agama lain dengan cara menghargai interpretasinya secara demokratis dan terbuka untuk umum yang dikenal dengan wacana pluralisme. Soal yang dihadapi bukan perebutan kekuasaan kelompok agama tetapi bagaimana menjadikan agama sebagai kelompok transformatif guna menyusun kehidupan politik yang demokratis. Yang dilakukan bukan politisasi agama tetapi bagaimana menjadikan kehidupan politik lebih bermoral. Sumbangan agama adalah pada sisi moral, moral politik; bagaimana agama-agama bisa menggarami kehidupan politik, sehinga nilai-nilai dan keputusan politik bisa dipertanggungjawabkan.

Untuk menentukan pilihan dari wacana yang tersedia perlu dilakukan upaya kritis dan terbuka. Dan sebagai pemeran politik yang transformatif gereja tidak mungkin hidup dalam kungkungan "kompleks minoritas". Kompleks minoritas bisa melahirkan dua macam ekstrim: yang pertama, hidup dalam ketakutan dan kehilangan kepercayaan diri; kedua, bisa muncul over-kompensasi menantang golongan lain dengan jalan kekerasan atau melalui semangat martirdom (kesyahidan) yang berat sebelah.

Oleh sebab itu perlu dikembangkan solidaritas kritis dimana semua pihak bisa menciptakan suasana terbuka dan saling memberi sumbangan dialogis terhadap masalah aktual dan pergumulan kontekstual. Gereja dan lembaga keagamaan tidak boleh menyerahkan moralitas politik kepada elite politik belaka. Dibutuhkan politisi yang benar-benar menjaga harkat dan martabat manusia. Keterlibatan lembaga keagamaan dalam politik adalah untuk menegakkan dimensi moral dalam politik. Politik tanpa moral akan menghasilkan penyalahgunaan kekuasaan yang menindas semua manusia khususnya terhadap lapisan masyarakat di kalangan bawah yang menjadi korban.

Gereja harus menjadi penjaga yang efektif dalam dunia politik agar harga manusia tidak direduksi (pengurangan kadar/mutu) dan didistorsi (penyimpangan dan pemutarbalikan fakta). Gereja harusnya terbuka pada dialog guna menciptakan kehidupan politik dengan landasan moral

5. UUP ini juga kurang memperhatikan heterogenitas (perbedaan) cultural dan social bangsa Indonesia. NKRI adalah berdasarkan Pancasila dari UUD 1945, yang mengakui dan menekankan perlunya memlihara keberagamaan bangsa dan bumi Indonesia. Aspek-aspek seksualitas juga tercakup dalam keberagamaan itu. Jadi, tidak tepat jika ada usaha konstitusional yang cenderung menyeragamkan aspek-aspek sosio – cultural bangsa ini.

6. Candi Sukuh, Ceto, Lingga dan Yoni, Gambar Nabi Adam dan Hawa, Gambar Yesus Tuhannya Orang Kristen dan Katolik dan Kitab Kidung Agung dari Kitab Suci Kristen dan Katolik serta Patung Budha dan Dewa-Dewi Hindu, Budha dan Konghucu bahkan Tugu Monas - semuanya bisa dianggap porno. Seorang penari Jawa, Sunda, Batak atau Bali bisa dianggap membangkitkan gairah seksual.

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Dari hal-hal yang dikemukakan di atas jelas bahwa UUP lebih banyak merugikan bangsa dan Negara ini dari pada meguntungkan bahkan menjadi ancaman kesatuan dan persatuan bangsa.

7.2 Karena lebih banyak merugikan bahkan menjadi ancaman , UUP itu sebaiknya tidak dilaksanakan, ditinjau kembali dan atau dibatalkan.

7.3 Cara terbaik untuk membina dan mengembangkan moralitas yang baik termasuk menghindarkan perilaku seksualitas yang salah, ialah Pendidikan bermutu untuk semua, baik formal maupun informal. Peningkatan pendidikan scara terus menerus berkesinambungan sehingga menjadi citra budaya secara nasional bukan dadakan dan dipaksakan seakan merampas kekayaan budaya yang ada. Dana yang demikian besar membuat undang-undang lebih baik dipergunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan nasional secara berkesinambungan (Continious Quality Inprovement) dengan curriculum yang lebih baik, terencana dan matang bukan coba coba.


* Penulis adalah salah satu Majelis Pusat HKI / Majelis Pekerja Harian PGI Wil.Sumut/ Ketua BKAG Kota P.Siantar.