Tuesday, June 16, 2009

Sikap HKI terhadap sakramen Krisma (Sakramen Penguatan) Katolik

oleh: Pdt.Marhasil Hutasoit,MTh
( Pendeta HKI Resort Siantar II, Majelis Pusat)
Tulisan ini disampaikan pada Rapat Konven Pendeta HKI 2009 untuk di diskusikan.
1. Pengantar

Dalam upaya "pemulihan dan pengembangan semangat keesaan" (Unitas redintegratio) dibutuhkan pemahaman menyangkut hal-hal yang dapat dilakukan bersama, diantara dua penganut agama Kristen Protestan dan Katolik. Ini adalah bagian mereaktualisasi peran agar kedua agama yang sama-sama percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruslamat itu, tidak hidup dalam "keterasingan yang sempurna" (splend isolation) atau mungkin hanya bersama seperti "toleransi acuh tak acuh" (indiffrent tolerance) tetapi dengan penuh radar bergerak bersama menggapai tingkat "pertemuan untuk belajar dan menolong satu sama lain" (meet each other to learn from and help each other).

2. Urgensi pembahasan

Bahasan ini adalah upaya menemukan jawab atas pertanyaan: "bagaimana sebaiknya warga Katolik dapat diterima menjadi warga HKI yang hendak melangsungkan perkawinan: Adakah "kesetaraan" pelayanan antara penganut Katholik dan Protestan yang dipahami telah memenuhi syarat formal gerejani khususnya dalam menerima pemberkatan perkawinan? Dengan urai telaah yang akan disarikan ini diharapkan pelayan HKI mendapat gambaran yang kornprehensip sebelum menentukan: Apakah warga Katolik harus disidikan tanpa kecuali atau terdapat " jenjang pelayanan Katolik" yang dapat dipertimbangkan atau "dikonversi" karena setara dengan pelayanan HKI? Atau: Sejauhmana sakramen krisma dapat diterima ambil bagian seperti halnya dalam pelaksanaan sidi?

3. Sakramen Krisma: anti, makna dan fungsinya:

A. Pengertian

Krisma atau "sakramen penguatan" adalah satu dari tujuh sakramen dalam lingkup pelayanan Katolik yang disebut Inisiasi(Inisiasi berasal dari bhs Latin: ini-ire = masuk ke dalam, memulai; initiatio = pemasukan ke dalam. Atau dalam antropologi budaya diistilahkan Sebagai rites de passage (ritus, upacara peralihan). Bnd. C. Groenen, Teologi Sakramen Inisiasi: Baptisan - Krisma, Sejarah & Sistematik, Yogyakarta, Kanisius, 1992, hl. 19-20 2). Merupakan langkah kedua menjadi seorang Katolik dan satu dari tiga (baptisan, penguatan, tahbisan) yang tidak boleh diulangi ; namun pada mulanya dikelompokkan pada "sakramen minora (artinya "tidak mutlak" tetapi "sangat ditekankan" (enixe commendatur). Berbeda dengan baptisan dan perjamuan mutlak perlu yang disebut "sakramen mayora" atau dalam bhs latin disebut in re atau in voto. Bnd. C. Grcenen, Sakramentologi; ciri sacramental karya penyelamatan Allah: sejarah, wujud struktur, Yogyakarta. Kanisius, 2009, hi 2006-2007) berhubung latar pelaksanaannya sering digabungkan dengan sakramen baptisan. Baru sejak abad XI sakramen krisma dilayankan sebagai sakramen mandiri yang terlepas dari upacara baptisan.

Diberikan melalui cara mengurapi penerimanya dengan krisma atau myron, minyak yang telah dicampur sejenis balsam oleh seorang Uskup atau seorang Imam yang mewakili Uskup. Diawali dengan uluran tangan Uskup/imam dan berdoa agar Roh Kudus tercurah - kemudian, membacakan "nama krisma" (akte) - mendapat tumpangan tangan dibahu oleh wali calon (pembimbing rohani) - tumpangan tangan di kepala oleh Uskup/imam seraya mengoleskan minyak membentuk tanda salib di dahi dengan ucapan: "(nama krisma) ..., terimalah tanda karunia Roh Kudus" - dijawab "Amin". Dengan itu seseorang dikukuhkan sebagai anggota gereja sekaligus ambil bagian dalam tugas perutusan Kristus, yakni sebagai imam, nabi dan raja. Selanjutnya Uskup mengucapkan salam damai, "Damai Kristus", dijawab "Terimakasih" (Dahulu salam damai disertai dengan tamparan lembut di pipi sebagai sentuhan sugesti apakah bersani menjadi saksi Kristus sekalipun harus dihina dan dittampar. Bnd. F.X. D. Bagiyowinadi, Siap Diutus; buku pegangan persiapan Krisma, Malang, Dioma, 2001 hL 65-67)

Pada mulanya waktu pelaksanaan krisma berbeda: Di belahan dunia Timur Tengah (ritus timur) sakramen krisma diberikan oleh imam juga kepada bayi-bayi segera sesudah mereka menerima sakramen pembaptisan. Di Barat, dikhususkan bagi orang-orang yang sudah dapat memahami arti pentingnya sakramen: mencapai usia dewasa atau sampai seseorang diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi. Belakangan ini waktu pelaksanaannya di seragamkan dengan terbitnya Kitab Hukum Kanonik dimana dalam Kan 889 ps 2 dinyatakan: "agar seseorang boleh menerima penguatan, haruslah - bila dapat menggunakan akal - diberi pengertian secukupnya, berdisposisi baik serta dapat memperbaharui janji­-janji baptis". Konsili Trente (thn 1547) mendeklarasikan bahwa penguatan (confirmatio) atau krisma merupakan sakramen sejati (DS 1628-1629).

B. Hakikat dan Makna Sakramen Krisma

Sakramen krisma dipahami sebagai peristiwa memberi "meterai" khusus (suatu tanda rohani tak terhapus, DS 1690) serta memuat dan menyampaikan rahmat yang ditandakan (DS 1606) melalui tiga unsur yang dilebur menjadi satu: penandaan, pengurapan, penumpangan tangan. Peristiwa itu menjadi deklarasi pemberian tugas, pemberian hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam pelaksanaan misi Kristus. Hal itu memperlihatkan segi "pneumatis-fungsional" dimana Roh Kudus tidak saja menguduskan orang yang menerimanya tetapi juga menawarkan dinamika yang secara sosio-historis turut melanjutkan karya Kristus.

Dengan sakramen penguatan, orang telah mengalami kematangan hidup kristiani (Christian maturity) dan oleh karena itu menjadi peserta dalam aktifitas jemaat yang tertuju kepada dunia. Mereka diberi tugas penyelamatan dalam rangka "jemaat penyelamatan". Thomas Aquinas (Sum. Theol. III, 72.5) mengatakan bahwa melalui sakramen penguatan, orang menerima kuasa (potestas) untuk melakukan apa saja yang berhubungan dengan misi Kristus termasuk dalam pertempuran (pugnam) rohani melawan musuh iman. Atau dengan istilah yang digunakan Bonaventura (Brevil, VI, 6,8) kekuatan menjadi serdadu (miles) Kristus (militia cristi). Ha) ini kemudian dipertegas dalam Konsili Vatikan ll, tentang pentingnya pembekalan bagi orang yang mendapat suatu "penugasan" (deputatio) karena orang kristen bukan saja sebagai milik Allah tetapi juga diharapkan sebagai pesona publica (tokoh public).

Roma Katolik menyadari bahwa di dalam baptisan terkandung volum, "keinginan" yang membutuhkan keterarahan obyektif, yang berurat berakar dalam realitas dan oleh sebab itu membutuhkan penguatan agar orang tidak saja memenuhi keinginannya tetapi bertanggungjawab mewujudkan kekristenannya demi keselamatan orang lain juga. Upacara itu menyanggupkan orang menunaikan tugas suci sebagaimana dipahami dari Luk 4:18; Kis 4:27; Ibr 1:9, dsb. Seperti halnya terjadi pada peristiwa hari Pentakosta dimana "jemaat" diurapi dengan Roh Kudus maka demikian juga, warga jemaat harus "dikuatkan" menjadi peserta dalam tugas Kristus (bnd. Vatikan II LG 11).

Dengan krisma penguatan maka daya ilahi itu makin dalam menguasai dan menggerakkan orang yang bersangkutan, memperluas pengaruhnya atas eksistensinya sebagai orang Kristen. Itulah sebabnya Katolik memahami bahwa baptisan menjadi upacara dasar yang perlu "dilengkapi" (DS 120-121) dengan sakramen penguatan.

Dalam Katekismus Gereja Katolik dijelaskan bahwa sakramen krisma adalah simbol dari pengurapan pertanda bekerjanya roh manusia, sehingga satu dalam Roh Kudus. Dan bila dipersatukan dengan Roh Kudus maka seseorang men}atakan setuju serta ikut serta dengan kegiatan Roh Kudus. Katolik mengajarkan bahwa: "Makna dan kekuatan yang sesungguhnya hanya bisa didapat bila dipersatukan melalui atau dengan pengurapan yang dilakukan oleh Roh Kudus, oleh Yesus Kristus" (its full force can be grasped only in relation to the primary anointing accomplished by the Holy Spirit, that of Jesus) "

Untuk mencapai tingkat kedewasaan seperti dimaksud di atas maka setiap warga katolik harus dipersiapkan melalui usaha membangkitkan pengertian tentang keanggotaan dalam Gereja Yesus Kristus. Katekismus Gereja Katolik juga mem5erikan suatu arahan tentang perlunya persiapan krisma. Di sana disebutkan bahwa "persiapan untuk penguatan harus diarahkan sedemikian penting supaya mengantar warga Kristen ke suatu kesatuan yang lebih hidup dengan Roh Kudus, dengan perbuatanNya, dengan anugerahNya, dengan doronganNya, supaya ia dapat menanggung lebih baik kewajiban hidup Kristen yang sifatnya apostolic"

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna sakramen krisma adalah internalisasi nilai-nilai ajaran agama katolik agar seseorang mendapat bekal yang memadai sekaligus menjadi tanda kedewasan untuk turut bertangggungjawab atas kehidupan Umat Allah pada dunia dan sesama.

C. Fungsi Sakramen Krisma dalam Perkawinan

Tuntutan menerima sakramen penguatan sebelum pernikahan didasarkan pada beberapa kewajiban berat yang ada di pundak keluarga kristiani; baik sebagai suami-istri maupun sebagai orangtua, terutama:
  1. Suami atau istri kristiani memiliki panggilan dan tugas khas untuk menjadi saksi iman atas cinta kasih Kristus bagi pasangannya, keluarga dan masyarakat.
  2. Orangtua kristiani adalah pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka yang ditunjukkan lewat kata dan teladan hidup
  3. Orangtua kristiani bekerjasama dengan rahmat ilahi dan menjadi saksi iman serta berkewajiban membina anak-anak untuk menghayati hidup kristiani dan kerasulan. Dengan bijaksana suami-istri membantu anak-anak mereka dalam memilih panggilan hidup mereka, dan - sekiranya, barangkali terdapat panggilan suci pada mereka - memupuknya dengan perhatian sepenuhnya.
Pelaksanaan semua tugas dan kewajiban itu membutuhkan kekuatan jiwa dan kehendak besar dimana kekuatan itu diberikan sebagai rahmat adikodrati melalui sakramen penguatan, yang adalah sakramen kedewasaan dan kekuatan kristiani.

D. Perumusan dan pengambilan sikap
Menerima krisma sebagai sakramen adalah mustahil bagi warga HKI namun mengabaikan makna yang terkandung dalam pelaksanaan krisma adalah juga kurang tepat. Muatan pendidikan yang diajarkan kepada umat sebelum mereka "menurunkan" daya hidup yang benar melalui keturunan (sebelum resmi menjadi pasangan suami-isteri) memuat perlenggkapan rohani adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh setiap umat meski dengan dedominasi dan aliran mana pun.
Berhubung karena krisma hanyalah satu dari beberapa peneguhan yang dilakukan oleh Katolik dalam mendewasakan umatnya, maka tidaklah menjadi sikap menafikan pelayanan umat katolik bila HKI melakukan Sidi kepada mereka yang berasal dari Katolik (Dalam reksa pastoral yang termuat dalam kitab Kanon disebutkan "orang-orang Katolik yang belum menerima sakramen penguatan, hendaklah menerimanya sebelum diijinkan menikah, bila hal itu dapat dilaksanakan tanpa keberatan besar" (Kan. 1065 - s 1), ibid, hl. 291). Harus pula disadari bahwa beberapa sub pokok ajaran Katolik sangat berbeda dengan dogma Kristen Protestan. Demikian juga halnya pemahaman yang semestinya diketahui oleh sang "katekumen" khususnya menyangkut sejarah gereja dan penata-organisasian HKI yang memiliki beberapa perbedaan adalah hal yang harus dipertimbangkan melakukan "penyesuaian".
Oleh karena itu, diusulkan bahwa sikap yang dapat diambil adalah :

1. Akomodatif dan responsif artinya bagi umat yang berlatar umat Katolik tidak perlu dibebani dengan beban administratif yang lebih berat ("ruhut berlipat") tetapi menyambut mereka sebagai umat yang membutuhkan "penyesuaian" dan "pengenalan" yang harus diberi bantuan dan kemudahan.
2. Berhubung masih terdapatnya pokok ajaran "yang tidak selaras" dan pentingnya memahami sejarah serta tata laksana organisasi gereja HKI sebagai komunitas yang baru, maka masih diperlukan "peneguhan" tanda kedewasaan mengalami dan mengemban tugas panggilan gereja sebagaimana termuat dalam Tata Gereja HKI. Tentu dengan memberi mereka bimbingan dan pelayanan khusus.