Hak Perempuan di Lingkungan Gereja
Oleh Eliakim Sitorus
Oleh Eliakim Sitorus
Dalam bidang penghormatan terhadap martabat kaum perempuan, gereja ketinggalan dibandingkan dengan Negara dan masyarakat tertentu. Dalam hal ini yang penulis tuju adalah gereja bernuansa etnis setidaknya yang tergabung dalam persekutuan gereja-gereja anggota Sekretariat Bersama United Evangelical Mission (SEKBER UEM). Jika Negara Republik Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat RI sudah mempunyai aturan baku dalam bentuk undang-undang yang memberi tempat hormat kepada kaum Hawa maka beda dengan gereja kita yang masih setengah hati untuk menerapkan emansipasi perempuan dalam kehidupannya. Mengapa?
Tulisan pendek ini, akan menunjukkan hal tersebut dan secara ringkas hendak mengusulkan perubahan sikap (mind set) yang semestinya diambil seluruh komponen gereja dalam menanggapi isu penting tersebut. Tentu saja ini bukan soal baru, sebab secara global persekutuan gereja-gereja sedunia sudah mendeklarasikan bahwa dekade ini adalah dekade penghapusan kekerasan terhadap perempuan (Decade to Overcome the Violence on Women). Sayangnya anggota Sekber UEM dan gereja sejenisnya kurang banyak memberi hati dan tak mempunyai kegiatan yang programatis serta sistematis untuk mengimplementasikan tema sentral persekutuan orang percaya dan seiman seplanet bumi itu. Malah di sana sisi, terjadi dekandensi moral para pelayan, khususnya kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, baik di lingkungan keluarga umat Kristen juga di dalam lingkungan organisatoris gerejani.
Tiga buah undang-undang yang sudah disahkan dan diberlakukan oleh Negara Indonesia mengacu kepada penghormatan atas peran dan kedudukan perempuan. Tentu belum sempurna, tetapi setidaknya instrumen hukumnya sudah tersedia. Pertama, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang lazim disingkat PKDRT. Jika dulu, kekerasan yang terjadi didalam lingkup rumah tangga dianggap masalah privat, maka sejak diundangkannya UU ini, kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah publik. Kedua, malah sudah relatif lebih lama, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Dari judulnya saja sudah jelas undang-undang ini memaparkan maknanya dan artinya yakni pengesahan konvensi internasional tentang Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women. Yang ketiga, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan (Hak) Anak.
Masalah Akut dan Krusial
Manakala kita simak dengan seksama, di tiga UU tersebut, banyak pasal dan ayat yang dengan terang benderang berpihak terhadap kaum perempuan. Hal ini bisa kits mengerti, oleh karena sudah cukup lama waktunya, bahwa baik Negara, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga non pemerintah, termasuk gereja-gereja yang progresif sudah menyadari ketertinggalannya dalam bidang jender - persamaan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan nyata. Menyepelekan aspek jender ini sama saja dengan membiarkan api dalam sekam di lingkungan gereja kita atau bom waktu yang sesewaktu kelak boleh meledak tak terkendali. Anda bisa tidak percaya tetapi simaklah lingkungan sekitar Anda, akan terlihat gejalanya. Kehadiran kaum umat perempuan dalam kebaktian minggu misalnya di hampir semua gereja, jauh mendominasi kehadiran kaum lekaki. Namun dalam hal pengambilan keputusan, selalu saja kaum perempuan dinomorduakan atau disisihkan.
Sekalipun masih banyak di antara kaum Adam pengurus teras gereja enggan untuk mengagendakan diskusi (discourse, wacana) atau pembahasan tentang tema-tema jender dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, sesungguhnya secara universal, sudah diraih begitu banyak progres dalam bidang promosi dan perlindungan hak-hak kaum perempuan. Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
Betul, bahwa sejak dini, entah kapan, gereja-gereja di luar aliran Katolik sudah membuka peluang bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi pelayan. Itulah sebabnya sudah sejak lama dikenal tradisi bibelvrouw, penginjil wanita dan diakoness di gereja-gereja kita. Gereja-gereja anggota Sekber UEM sudah seluruhnya bersedia menahbis perempuan menjadi pendeta. Apakah pendeta perempuan diperlakukan sama dengan pendeta laki-laki? Itu tema bahasan yang lain pula. Namun selama berabad-abad, bahkan satu millenium, sukar sekali terjadi terobosan yang membuat kaum perempuan tampil berdampingan dengan para lelaki memimpin organisasi gereja. Sehingga timbul semacam “pemberontakan” di kalangan perempuan pelayan. Ini harus direspons. Gereja tidak bisa tetap selamanya menjadi gerejanya kaum lelaki, khususnya di dalam lingkup keluarga UEM sudah tiba masanya menjadi gereja yang menghapus dinding pemisah pelayan laki-laki dan perempuan. Pengambilan keputusan yang bias jender pun tidak bisa kita biarkan terus berlangsung. Zaman akan menggilas gereja yang tak perduli terhadap isu ini. Gerakan teologi feminis sudah menjadi gerakan sosial yang mengglobal.
Konstruksi sosial yang sudah berlangsung berabad-abad dalam lingkungan masyarakat berciri paternalistik atau patriarchat dicopy paste oleh gereja, bahwa perempuan hanya sekedar pendamping atau pembantu bagi kaum lelaki dalam pelaksanaan pelayanan rohani bagi umat sudah waktunya ditinjau ulang atau didekonstruksi. Gereja harus menjadi milik bersama dan diurus bersama secara setara antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu mestinya ada kerelaan, bukan keterpaksaan, meninjau ulang landasan teologis hubungan laki-laki dan perempuan, terutama dalam tumah tangga. Misalnya liturgi perkawinan seharusnya diperbaharui direvisi dan dikembangkan sedemikian rupa, searas dengan perkembangan global.
Realitas bahwa jumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) dari waktu ke waktu lebih banyak perempuan daripada laki-laki harus ditanggapi dengan arif. Kelak suatu masa jumlah pelayan perempuan tertahbis (ordained women) akan sebanding atau lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Untuk itu hanya pemimpin gereja yang memiliki perspektif jender-lah yang mampu memahami fenomena itu dengan baik. Sementara mereka para pendeta laki-laki yang anti emansipasi, anti jender akan tetap pada pendirian konvensionalnya bahwa perempuan hanya sekedar pembantu di dalam roda organisasi gereja. Para pelayan (baca pendeta) laki-laki yang menyepelekan sesamanya pelayan tetapi berjenis kelamin perempuan, adalah cerminan dari sikapnya di dalam rumah tangganya. Sang pendeta cenderung bersifat amat paternalistik bahkan anti emansipasi di keluarganya. Sebaliknya seorang pendeta laki-laki yang sangat hormat kepada isteri dan puterinya di rumah. Maka akan tercermin dalam sikap dan perangainya di dalam organisasi gereja, mulai dari jemaat, resort, klasis/wilayah, juga mereka yang berkarya di lembaga pendidikan. Ini bersifat universal, bukan hanya berlaku bagi pendeta, sesungguhnya juga warga dengan beraneka ragam profesinya.
Sukar membuka hati untuk meninjau ulang semua tatanan gerejani menyangkut aspek emansipasi perempuan. Saya sebut ini masalah akut dan krusial, sebab sudah nyata di depan mata kita persoalan jender menimbulkan gejolak di jemaat. Kita tidak boleh pura-pura tidak tahu, bahwa seolah tidak terjadi apa-apa, baik di dalam keluarga-keluarga rumah tangga Kristen anggota gereja kita, maupun di dalam struktur organisasi gereja kita sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak PGI W Sumatera Utara tahun 2005, dengan topik “Elemen-elemen Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kristen Warga Jemaat Gereja Anggota PGI WSU” seharusnya sangat merisaukan. Mengapa? Sebab mayoritas dari antara rumah tangga Kristen responden penelitian mengaku terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh kaum bapak atau laki-laki. Elemen kekerasannya bervarasi dari yang paling halus (tidak memberi nafkah, caci maki) sampai sangat kasar (pemukulan). Penelitian mengambil lokasi di kota madya Medan.
Saya agak berani menduga apabila cakupan area penelitian akan diperluas, maka akan ditemukan keragaman kekerasan dalam rumah tangga Kristen yang lebih mengkhawatirkan. Dalam hal kekerasan dalam keluarga dan rumah tangga Kristen hampir tidak punya nilai lebih positif dibandingkan dengan rumah tangga umat bukan Kristen. Ini bukan semata terbaca dari laporan penelitian, namun pengamatan empiris kita sehari-hari pun menunjukkan gereja demikian. Memang perceraian di antara pasangan suami isteri keluarga Kristen tidak sesarkastis perceraian umat agama lain, tetapi bukan berarti kekerasan yang mengancam keutuhan rumah tangga tak terjadi.
Sayang sekali hasil penelitian itu tidak (baca: belum) ditindak lanjuti atau diulangi dan diperluas. Tetapi sebagaimana telah saya singgung di atas tanpa penelitian tersebut pun, lewat pengamatan kita sehari-hari, pembacaan kita atas media masa cetak dan serta pemirsa media elektronik, kita saksikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di tengah komunitas Kristiani semakin hari semakin meningkat. Ini adalah gambaran dari kondisi kekerasan terhadap kaum perempuan di lingkungan dan struktur gereja kita.
Tawaran Upaya
Saya sangat sadar bahwa tidak mungkin harus menunggu sampai semua petinggi organisasi gereja (terutama laki-laki) sadar jender dulu, baru diprogramkan kegiatan yang mencakup pemajuan atau promosi hak perempuan di lingkungan gereja. Tidak! Setiap orang yang sudah memiliki kesadaran jender bisa berbuat dimulai dari dirinya sendiri, lalu dari keluarganya untuk memberi tempat penghormatan atas emansipasi perempuan. Bahwa pandangan kolot seolah perempuan hanya berada di samping kaum lelaki, karena diambil dari tulang rusuk lelaki, seturut teks cerita penciptaan, harus direinterpretasi ulang dengan mengkritisi konteks saat teks itu ditulis pengarangnya. Perempuan pun bisa di depan dalam menjalankan roda organisasi. Pendeta perempuan pun bisa menjadi ephorus, sekjen, bishop, ketua klasis (praeses) dan kepala departemen asal mampu dan memiliki kapabilitas untuk itu.
Sikap emansipasi perempuan yang sudah dengan jelas ditulis dalam sejarah Bangsa Indonesia, antara lain yang dilakonkan oleh Raden Ajeng Kartini bisa menjadi sumber inspirasi bagi gereja untuk maju melangkah memperbaiki relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kepengurusan gereja kita. Oleh karena pengurus gereja, baik pendeta dengan jabatan ephorus adalah manusia yang berkecenderungan untuk bersikap anti jender bahkan bukan mustahil bisa berperilaku kasar dan kekerasan terhadap kaum perempuan, maka seyogianya ada panduan atau code of conduct yang berisi tatacara penghindaran hal tersebut dan ada aturan legal bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan gereja seandainya terjadi. Kita tak boleh naif lagi hanya mengandalkan semacam hukum siasat gereja atau Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon (RPP) yang sudah sangat kadaluarsa yang sangat usang apalagi penerapannya sangat diskriminatif. Apalagi jika dikatakan, RPP bias diterapkan jika sudah ada pengakuan bersalah dari mulut si pelaku. Mana ada pelaku kejahatan mengaku dengan sendirinya? Jika itu terjadi, amanlah dunia.
Langkah konkrit lainnya yang harus segera diambil oleh gereja kita sebagaimana dianjurkan oleh UU, yaitu pembentukan lembaga pengamanan perempuan (dan anak) korban kekerasan, yang lazim disebut women crisis centre (WCC). Kita memberi apresiasi kepada GBKP yang sudah mendirikan rumah aman bagi korban di Brastagi dan GKPS dengan WCC-nya di Pematang Siantar. Mudah-mudahan tidak lama lagi akan segera diikuti oleh gereja-gereja anggota Sekber UEM lainnya.
Akhirnya jangan tunggu perempuan memusuhi organisasi gerejanya sendiri karena aspirasinya tidak tertampung, sekalipun di rapat para pendeta mereka sudah berteriak agar ada perhatian gereja yang lebih memadai kepada mereka. Jika pemerintah dan Negara sudah sepakat ada kuota 30 % anggota DPR RI adalah perempuan, mengapa pula gereja kita tidak memikirkan sekian persen dari pendeta resort seharusnya perempuan? Demikian pula para praeses. Bahkan pimpinan puncak di kantor sinode. Perempuan memimpin, kenapa laki-laki harus gusar? Hanya lakilaki yang gemar melecehkan perempuan saja yang takut hal itu menjadi kenyataan. Tuhan memberkati manusia laki-laki dan perempuan. Selamat Tahun Baru 2008.
(Penulis adalah konsultan program KPKC untuk gereja anggota Sekber UEM, berdomisili di Medan.)
Tulisan pendek ini, akan menunjukkan hal tersebut dan secara ringkas hendak mengusulkan perubahan sikap (mind set) yang semestinya diambil seluruh komponen gereja dalam menanggapi isu penting tersebut. Tentu saja ini bukan soal baru, sebab secara global persekutuan gereja-gereja sedunia sudah mendeklarasikan bahwa dekade ini adalah dekade penghapusan kekerasan terhadap perempuan (Decade to Overcome the Violence on Women). Sayangnya anggota Sekber UEM dan gereja sejenisnya kurang banyak memberi hati dan tak mempunyai kegiatan yang programatis serta sistematis untuk mengimplementasikan tema sentral persekutuan orang percaya dan seiman seplanet bumi itu. Malah di sana sisi, terjadi dekandensi moral para pelayan, khususnya kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, baik di lingkungan keluarga umat Kristen juga di dalam lingkungan organisatoris gerejani.
Tiga buah undang-undang yang sudah disahkan dan diberlakukan oleh Negara Indonesia mengacu kepada penghormatan atas peran dan kedudukan perempuan. Tentu belum sempurna, tetapi setidaknya instrumen hukumnya sudah tersedia. Pertama, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang lazim disingkat PKDRT. Jika dulu, kekerasan yang terjadi didalam lingkup rumah tangga dianggap masalah privat, maka sejak diundangkannya UU ini, kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah publik. Kedua, malah sudah relatif lebih lama, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Dari judulnya saja sudah jelas undang-undang ini memaparkan maknanya dan artinya yakni pengesahan konvensi internasional tentang Convention on Elimination of all Forms of Discrimination Against Women. Yang ketiga, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan (Hak) Anak.
Masalah Akut dan Krusial
Manakala kita simak dengan seksama, di tiga UU tersebut, banyak pasal dan ayat yang dengan terang benderang berpihak terhadap kaum perempuan. Hal ini bisa kits mengerti, oleh karena sudah cukup lama waktunya, bahwa baik Negara, organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga non pemerintah, termasuk gereja-gereja yang progresif sudah menyadari ketertinggalannya dalam bidang jender - persamaan hak dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam semua aspek kehidupan nyata. Menyepelekan aspek jender ini sama saja dengan membiarkan api dalam sekam di lingkungan gereja kita atau bom waktu yang sesewaktu kelak boleh meledak tak terkendali. Anda bisa tidak percaya tetapi simaklah lingkungan sekitar Anda, akan terlihat gejalanya. Kehadiran kaum umat perempuan dalam kebaktian minggu misalnya di hampir semua gereja, jauh mendominasi kehadiran kaum lekaki. Namun dalam hal pengambilan keputusan, selalu saja kaum perempuan dinomorduakan atau disisihkan.
Sekalipun masih banyak di antara kaum Adam pengurus teras gereja enggan untuk mengagendakan diskusi (discourse, wacana) atau pembahasan tentang tema-tema jender dan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, sesungguhnya secara universal, sudah diraih begitu banyak progres dalam bidang promosi dan perlindungan hak-hak kaum perempuan. Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia (HAM).
Betul, bahwa sejak dini, entah kapan, gereja-gereja di luar aliran Katolik sudah membuka peluang bagi kaum perempuan untuk tampil menjadi pelayan. Itulah sebabnya sudah sejak lama dikenal tradisi bibelvrouw, penginjil wanita dan diakoness di gereja-gereja kita. Gereja-gereja anggota Sekber UEM sudah seluruhnya bersedia menahbis perempuan menjadi pendeta. Apakah pendeta perempuan diperlakukan sama dengan pendeta laki-laki? Itu tema bahasan yang lain pula. Namun selama berabad-abad, bahkan satu millenium, sukar sekali terjadi terobosan yang membuat kaum perempuan tampil berdampingan dengan para lelaki memimpin organisasi gereja. Sehingga timbul semacam “pemberontakan” di kalangan perempuan pelayan. Ini harus direspons. Gereja tidak bisa tetap selamanya menjadi gerejanya kaum lelaki, khususnya di dalam lingkup keluarga UEM sudah tiba masanya menjadi gereja yang menghapus dinding pemisah pelayan laki-laki dan perempuan. Pengambilan keputusan yang bias jender pun tidak bisa kita biarkan terus berlangsung. Zaman akan menggilas gereja yang tak perduli terhadap isu ini. Gerakan teologi feminis sudah menjadi gerakan sosial yang mengglobal.
Konstruksi sosial yang sudah berlangsung berabad-abad dalam lingkungan masyarakat berciri paternalistik atau patriarchat dicopy paste oleh gereja, bahwa perempuan hanya sekedar pendamping atau pembantu bagi kaum lelaki dalam pelaksanaan pelayanan rohani bagi umat sudah waktunya ditinjau ulang atau didekonstruksi. Gereja harus menjadi milik bersama dan diurus bersama secara setara antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu mestinya ada kerelaan, bukan keterpaksaan, meninjau ulang landasan teologis hubungan laki-laki dan perempuan, terutama dalam tumah tangga. Misalnya liturgi perkawinan seharusnya diperbaharui direvisi dan dikembangkan sedemikian rupa, searas dengan perkembangan global.
Realitas bahwa jumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) dari waktu ke waktu lebih banyak perempuan daripada laki-laki harus ditanggapi dengan arif. Kelak suatu masa jumlah pelayan perempuan tertahbis (ordained women) akan sebanding atau lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Untuk itu hanya pemimpin gereja yang memiliki perspektif jender-lah yang mampu memahami fenomena itu dengan baik. Sementara mereka para pendeta laki-laki yang anti emansipasi, anti jender akan tetap pada pendirian konvensionalnya bahwa perempuan hanya sekedar pembantu di dalam roda organisasi gereja. Para pelayan (baca pendeta) laki-laki yang menyepelekan sesamanya pelayan tetapi berjenis kelamin perempuan, adalah cerminan dari sikapnya di dalam rumah tangganya. Sang pendeta cenderung bersifat amat paternalistik bahkan anti emansipasi di keluarganya. Sebaliknya seorang pendeta laki-laki yang sangat hormat kepada isteri dan puterinya di rumah. Maka akan tercermin dalam sikap dan perangainya di dalam organisasi gereja, mulai dari jemaat, resort, klasis/wilayah, juga mereka yang berkarya di lembaga pendidikan. Ini bersifat universal, bukan hanya berlaku bagi pendeta, sesungguhnya juga warga dengan beraneka ragam profesinya.
Sukar membuka hati untuk meninjau ulang semua tatanan gerejani menyangkut aspek emansipasi perempuan. Saya sebut ini masalah akut dan krusial, sebab sudah nyata di depan mata kita persoalan jender menimbulkan gejolak di jemaat. Kita tidak boleh pura-pura tidak tahu, bahwa seolah tidak terjadi apa-apa, baik di dalam keluarga-keluarga rumah tangga Kristen anggota gereja kita, maupun di dalam struktur organisasi gereja kita sendiri. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Anak PGI W Sumatera Utara tahun 2005, dengan topik “Elemen-elemen Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kristen Warga Jemaat Gereja Anggota PGI WSU” seharusnya sangat merisaukan. Mengapa? Sebab mayoritas dari antara rumah tangga Kristen responden penelitian mengaku terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak oleh kaum bapak atau laki-laki. Elemen kekerasannya bervarasi dari yang paling halus (tidak memberi nafkah, caci maki) sampai sangat kasar (pemukulan). Penelitian mengambil lokasi di kota madya Medan.
Saya agak berani menduga apabila cakupan area penelitian akan diperluas, maka akan ditemukan keragaman kekerasan dalam rumah tangga Kristen yang lebih mengkhawatirkan. Dalam hal kekerasan dalam keluarga dan rumah tangga Kristen hampir tidak punya nilai lebih positif dibandingkan dengan rumah tangga umat bukan Kristen. Ini bukan semata terbaca dari laporan penelitian, namun pengamatan empiris kita sehari-hari pun menunjukkan gereja demikian. Memang perceraian di antara pasangan suami isteri keluarga Kristen tidak sesarkastis perceraian umat agama lain, tetapi bukan berarti kekerasan yang mengancam keutuhan rumah tangga tak terjadi.
Sayang sekali hasil penelitian itu tidak (baca: belum) ditindak lanjuti atau diulangi dan diperluas. Tetapi sebagaimana telah saya singgung di atas tanpa penelitian tersebut pun, lewat pengamatan kita sehari-hari, pembacaan kita atas media masa cetak dan serta pemirsa media elektronik, kita saksikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di tengah komunitas Kristiani semakin hari semakin meningkat. Ini adalah gambaran dari kondisi kekerasan terhadap kaum perempuan di lingkungan dan struktur gereja kita.
Tawaran Upaya
Saya sangat sadar bahwa tidak mungkin harus menunggu sampai semua petinggi organisasi gereja (terutama laki-laki) sadar jender dulu, baru diprogramkan kegiatan yang mencakup pemajuan atau promosi hak perempuan di lingkungan gereja. Tidak! Setiap orang yang sudah memiliki kesadaran jender bisa berbuat dimulai dari dirinya sendiri, lalu dari keluarganya untuk memberi tempat penghormatan atas emansipasi perempuan. Bahwa pandangan kolot seolah perempuan hanya berada di samping kaum lelaki, karena diambil dari tulang rusuk lelaki, seturut teks cerita penciptaan, harus direinterpretasi ulang dengan mengkritisi konteks saat teks itu ditulis pengarangnya. Perempuan pun bisa di depan dalam menjalankan roda organisasi. Pendeta perempuan pun bisa menjadi ephorus, sekjen, bishop, ketua klasis (praeses) dan kepala departemen asal mampu dan memiliki kapabilitas untuk itu.
Sikap emansipasi perempuan yang sudah dengan jelas ditulis dalam sejarah Bangsa Indonesia, antara lain yang dilakonkan oleh Raden Ajeng Kartini bisa menjadi sumber inspirasi bagi gereja untuk maju melangkah memperbaiki relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kepengurusan gereja kita. Oleh karena pengurus gereja, baik pendeta dengan jabatan ephorus adalah manusia yang berkecenderungan untuk bersikap anti jender bahkan bukan mustahil bisa berperilaku kasar dan kekerasan terhadap kaum perempuan, maka seyogianya ada panduan atau code of conduct yang berisi tatacara penghindaran hal tersebut dan ada aturan legal bagaimana penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan gereja seandainya terjadi. Kita tak boleh naif lagi hanya mengandalkan semacam hukum siasat gereja atau Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon (RPP) yang sudah sangat kadaluarsa yang sangat usang apalagi penerapannya sangat diskriminatif. Apalagi jika dikatakan, RPP bias diterapkan jika sudah ada pengakuan bersalah dari mulut si pelaku. Mana ada pelaku kejahatan mengaku dengan sendirinya? Jika itu terjadi, amanlah dunia.
Langkah konkrit lainnya yang harus segera diambil oleh gereja kita sebagaimana dianjurkan oleh UU, yaitu pembentukan lembaga pengamanan perempuan (dan anak) korban kekerasan, yang lazim disebut women crisis centre (WCC). Kita memberi apresiasi kepada GBKP yang sudah mendirikan rumah aman bagi korban di Brastagi dan GKPS dengan WCC-nya di Pematang Siantar. Mudah-mudahan tidak lama lagi akan segera diikuti oleh gereja-gereja anggota Sekber UEM lainnya.
Akhirnya jangan tunggu perempuan memusuhi organisasi gerejanya sendiri karena aspirasinya tidak tertampung, sekalipun di rapat para pendeta mereka sudah berteriak agar ada perhatian gereja yang lebih memadai kepada mereka. Jika pemerintah dan Negara sudah sepakat ada kuota 30 % anggota DPR RI adalah perempuan, mengapa pula gereja kita tidak memikirkan sekian persen dari pendeta resort seharusnya perempuan? Demikian pula para praeses. Bahkan pimpinan puncak di kantor sinode. Perempuan memimpin, kenapa laki-laki harus gusar? Hanya lakilaki yang gemar melecehkan perempuan saja yang takut hal itu menjadi kenyataan. Tuhan memberkati manusia laki-laki dan perempuan. Selamat Tahun Baru 2008.
(Penulis adalah konsultan program KPKC untuk gereja anggota Sekber UEM, berdomisili di Medan.)