Jamita tu Minggu Invokavit-Tanggal, 10 Pebruari 2008
Oleh : Pdt. Happy Pakpahan (Parhobas diKantor Pusat Huria Kristen Indonesia – http://happypakpahan.blogspot.com)
Oleh : Pdt. Happy Pakpahan (Parhobas diKantor Pusat Huria Kristen Indonesia – http://happypakpahan.blogspot.com)
I. Pengantar Kepada Kitab Samuel
Kitab I Samuel berisi sejarah Israel dalam masa peralihan dari zaman Hakim-hakim kepada zaman Raja-raja. Dari lingkup waktu, isi Kitab 1 Samuel meliputi hampir seratus tahun sejarah Israel – dari kelahiran Samuel hingga wafatnya Saul (sekitar 1105-1010 SM) – dan merupakan mata rantai sejarah yang utama di antara masa para hakim dengan raja Israel yang pertama. Jelasnya, 1 Samuel meliput tiga peralihan utama dalam kepemimpinan nasional: dari Eli ke Samuel, dari Samuel ke Saul, dan dari Saul ke Daud. Dalam Konteks Zaman dan Penulisan, memang TUHAN sendiri sudah dianggap Raja di Israel, tetapi untuk menanggapi permohonan rakyat dan berhubungan langsung, TUHAN memilih seorang raja bagi mereka. Hal yang penting ialah bahwa baik raja maupun rakyat Israel hidup di bawah kedaulatan Allah, Hakim mereka (2:7-10). Di bawah hukum-hukum Allah, haruslah dijamin hak seluruh rakyat, kaya maupun miskin. Pokok Kitab ini, sama seperti kisah-kisah lainnya dalam Perjanjian Lama, ialah bahwa seseorang akan berhasil kalau setia kepada Allah, dan celaka kalau mendurhaka. Hal itu dinyatakan dengan jelas dalam pasal 2:30 ketika TUHAN berkata kepada Imam Eli, “Yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi yang menghina Aku akan Kuhina.”
1 Samuel menguraikan titik peralihan yang kritis dalam sejarah Israel dari kepemimpinan para hakim kepada pemerintahan seorang raja. Kitab ini menyatakan ketegangan di antara pengharapan bangsa itu akan seorang raja (seorang pemimpin yang lalim, “seperti pada segala bangsa-bangsa lain,” 1 Sam 8:5) dan pola teokratis Allah, dengan Allah sebagai Raja mereka. Kitab ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketidaktaatan Saul dan pelanggarannya terhadap tuntutan-tuntutan teokratis jabatannya membuat Allah menolak dan menggantikannya sebagai raja. Dan saat itulah hadir Samuel, seorang tokoh yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin rohani Israel yang tangguh dan yang dipakai Allah untuk mengatur kerajaan Teokratis.
II. Pembahasan Nats & Relevansi
1. Kisah kitab Samuel ini diawali dengan pergumulan seorang ibu bernama Hana yang sangat merindukan seorang anak, yang akan ia serahkan kepada Tuhan untuk melayani Bait Allah. Kerinduan Hana menggambarkan kerinduan bangsa Israel akan Firman Tuhan yang sudah sangat lama tidak pernah lagi mereka dengar. Hal ini terjadi karena Eli yang menjabat sebagai Imam bangsa Israel tidak berani tegas terhadap tindakan anak-anaknya yang berbuat jahat dimata Tuhan. Mereka mempermainkan persembahan untuk Tuhan dan melakukan banyak hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Imam Eli tidak lagi peka terhadap sapaan Tuhan karena ia membiarkan kejahatan berlangsung di depan matanya. Kehadiran Samuel menggambarkan lembaran sejarah baru bagi bangsa Israel yang pada waktu itu telah kehilangan pegangan sehingga suasana hidup menjadi lesu dan tidak ada lagi niat untuk berjuang dalam kehidupan ini. Melalui diri Samuel inilah, Allah kembali menyatakan kehendak-Nya bagi bangsa yang sudah putus asa ini. Dan masa karir pelayanan Samuel ini mengalami proses yang diawali kisah yang digambarkan Nats pada Kotbah Minggu ini.
Dikisahkan, setelah Samuel lahir, ia kemudian menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Diterangkan pada ayat 1 : Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering.
Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil : “Samuel! Samuel!”, dan ia menjawab: “Ya, bapa.”Lalu berlarilah ia kepada Eli, serta katanya: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Tetapi Eli berkata: “Aku tidak memanggil; tidurlah kembali.” Lalu pergilah ia tidur. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi. Samuel pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta berkata: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Tetapi Eli berkata: “Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali.” Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Ia pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Lalu mengertilah Eli, bahwa TUHANlah yang memanggil anak itu. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: “Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. (4-9). 3:10 Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: “Samuel! Samuel!” Dan Samuel menjawab: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.”
Jemaat Kristus, hal menarik yang perlu kita perhatikan dari diri Samuel adalah ketulusannya untuk mendengarkan Allah seperti yang diungkapkan dalam panggilan yang ke empat, “berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar”. Kata mendengar dalam bahasa aslinya adalah shama yang jika kita baca dalam kamus bahasa Ibrani artinya to hear intelligently - seringkali digunakan dalam pengertian attention, obedience. Artinya, kata mendengar di sini tidak hanya sekedar mendengar tetapi lebih pada arti “ memperhatikan dengan sungguh-sungguh “. Ini dapat kita relevansikan bahwa perlu kepekaan terhadap panggilan – teguran – petunjuk TUHAN. Peka terhadap sapaan Tuhan mempunyai makna mendengar dengan sungguh-sungguh Allah yang berbicara kepada umat-Nya melalui Alkitab sebagai FirmanNya, melalui berbagai peristiwa dalam kehidupan ini dan sekaligus kesiap sediaan untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya.
“Peka terhadap sapaan Tuhan” itulah yang diperlihatkan samuel. Jemaat Kristus, hal ini menarik. Samuel peka terhadap sapaan atau seruan yang memanggil namanya walaupun ia tidak sadar seruan itu berasal dari Tuhan. “Dengan segera, dan dengan cekatan beraksi, menyatakan siap, menerima perintah, siap disuruh”, dia sangat peka terhadap panggilan namanya. Makin unik lagi, karena panggilan yang sama sampai ketiga kali, tetapi ketiga kalinya ditanggapinya dengan serius dan siap menerima perintah, dia menganggap perintah itu dari bapaknya imam Eli. Untunglah, dibawah pengawasan imam Eli, Samuel mendapat bimbingan untuk sampai kepada sumber panggilan itu yaitu Allah. Akhirnya Samuel menjawab panggilan itu untuk mendengar berita penting, berita pembaharuan Israel yaitu adanya penggantian pemimpin, sebagai hakim, sebagai imam ditengah umat Israel, yaitu Samuel sendiri. Dan kemudian Samuel melaksanakan panggilan itu dan TUHAN menyertai dia dan tidak ada satupun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur.
Jemaat TUHAN terkasih, baiklah kita bercermin dari pengalaman Samuel ini, mari merenungkan, sudah berapa kali suara TUHAN kita dengar dalam berbagai cara, apakah kita peka sehingga membawa pembaharuan hidup bagi sesama bagi Gereja, jemaat Tuhan lainnya dan bagi kita sendiri? Layaknya yang dilakukan Eli pada Samuel, bimbingan pun telah banyak kita terima, kita pelajari untuk mengenal suara Tuhan. Tetapi apakah kita peduli dan peka atas suara Tuhan itu ? Marilah kita belajar mendengar dengan sungguh-sungguh suara dan panggilan Allah yang datang tidak hanya terbatas dalam ruang aktifitas lingkup gereja saja tapi juga dalam seluruh peristiwa dalam kehidupan kita. Layaknya diteladankan kisah Samuel, kepekaan terhadap suara Allah memberikan keberanian kepada kita untuk melakukan sesuatu yang baik bagi diri sendiri, keluarga, Gereja dan situasi bangsa dan negara kita yang saat ini masih terus mengalami situasi yang sulit.
Kitab I Samuel berisi sejarah Israel dalam masa peralihan dari zaman Hakim-hakim kepada zaman Raja-raja. Dari lingkup waktu, isi Kitab 1 Samuel meliputi hampir seratus tahun sejarah Israel – dari kelahiran Samuel hingga wafatnya Saul (sekitar 1105-1010 SM) – dan merupakan mata rantai sejarah yang utama di antara masa para hakim dengan raja Israel yang pertama. Jelasnya, 1 Samuel meliput tiga peralihan utama dalam kepemimpinan nasional: dari Eli ke Samuel, dari Samuel ke Saul, dan dari Saul ke Daud. Dalam Konteks Zaman dan Penulisan, memang TUHAN sendiri sudah dianggap Raja di Israel, tetapi untuk menanggapi permohonan rakyat dan berhubungan langsung, TUHAN memilih seorang raja bagi mereka. Hal yang penting ialah bahwa baik raja maupun rakyat Israel hidup di bawah kedaulatan Allah, Hakim mereka (2:7-10). Di bawah hukum-hukum Allah, haruslah dijamin hak seluruh rakyat, kaya maupun miskin. Pokok Kitab ini, sama seperti kisah-kisah lainnya dalam Perjanjian Lama, ialah bahwa seseorang akan berhasil kalau setia kepada Allah, dan celaka kalau mendurhaka. Hal itu dinyatakan dengan jelas dalam pasal 2:30 ketika TUHAN berkata kepada Imam Eli, “Yang menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi yang menghina Aku akan Kuhina.”
1 Samuel menguraikan titik peralihan yang kritis dalam sejarah Israel dari kepemimpinan para hakim kepada pemerintahan seorang raja. Kitab ini menyatakan ketegangan di antara pengharapan bangsa itu akan seorang raja (seorang pemimpin yang lalim, “seperti pada segala bangsa-bangsa lain,” 1 Sam 8:5) dan pola teokratis Allah, dengan Allah sebagai Raja mereka. Kitab ini menunjukkan dengan jelas bahwa ketidaktaatan Saul dan pelanggarannya terhadap tuntutan-tuntutan teokratis jabatannya membuat Allah menolak dan menggantikannya sebagai raja. Dan saat itulah hadir Samuel, seorang tokoh yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin rohani Israel yang tangguh dan yang dipakai Allah untuk mengatur kerajaan Teokratis.
II. Pembahasan Nats & Relevansi
1. Kisah kitab Samuel ini diawali dengan pergumulan seorang ibu bernama Hana yang sangat merindukan seorang anak, yang akan ia serahkan kepada Tuhan untuk melayani Bait Allah. Kerinduan Hana menggambarkan kerinduan bangsa Israel akan Firman Tuhan yang sudah sangat lama tidak pernah lagi mereka dengar. Hal ini terjadi karena Eli yang menjabat sebagai Imam bangsa Israel tidak berani tegas terhadap tindakan anak-anaknya yang berbuat jahat dimata Tuhan. Mereka mempermainkan persembahan untuk Tuhan dan melakukan banyak hal yang tidak berkenan kepada Tuhan. Imam Eli tidak lagi peka terhadap sapaan Tuhan karena ia membiarkan kejahatan berlangsung di depan matanya. Kehadiran Samuel menggambarkan lembaran sejarah baru bagi bangsa Israel yang pada waktu itu telah kehilangan pegangan sehingga suasana hidup menjadi lesu dan tidak ada lagi niat untuk berjuang dalam kehidupan ini. Melalui diri Samuel inilah, Allah kembali menyatakan kehendak-Nya bagi bangsa yang sudah putus asa ini. Dan masa karir pelayanan Samuel ini mengalami proses yang diawali kisah yang digambarkan Nats pada Kotbah Minggu ini.
Dikisahkan, setelah Samuel lahir, ia kemudian menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Diterangkan pada ayat 1 : Samuel yang muda itu menjadi pelayan TUHAN di bawah pengawasan Eli. Pada masa itu firman TUHAN jarang; penglihatan-penglihatan pun tidak sering.
Pada suatu hari Eli, yang matanya mulai kabur dan tidak dapat melihat dengan baik, sedang berbaring di tempat tidurnya. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah. Lalu TUHAN memanggil : “Samuel! Samuel!”, dan ia menjawab: “Ya, bapa.”Lalu berlarilah ia kepada Eli, serta katanya: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Tetapi Eli berkata: “Aku tidak memanggil; tidurlah kembali.” Lalu pergilah ia tidur. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi. Samuel pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta berkata: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Tetapi Eli berkata: “Aku tidak memanggil, anakku; tidurlah kembali.” Samuel belum mengenal TUHAN; firman TUHAN belum pernah dinyatakan kepadanya. Dan TUHAN memanggil Samuel sekali lagi, untuk ketiga kalinya. Ia pun bangunlah, lalu pergi mendapatkan Eli serta katanya: “Ya, bapa, bukankah bapa memanggil aku?” Lalu mengertilah Eli, bahwa TUHANlah yang memanggil anak itu. Sebab itu berkatalah Eli kepada Samuel: “Pergilah tidur dan apabila Ia memanggil engkau, katakanlah: Berbicaralah, TUHAN, sebab hamba-Mu ini mendengar.” Maka pergilah Samuel dan tidurlah ia di tempat tidurnya. (4-9). 3:10 Lalu datanglah TUHAN, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: “Samuel! Samuel!” Dan Samuel menjawab: “Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar.”
Jemaat Kristus, hal menarik yang perlu kita perhatikan dari diri Samuel adalah ketulusannya untuk mendengarkan Allah seperti yang diungkapkan dalam panggilan yang ke empat, “berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar”. Kata mendengar dalam bahasa aslinya adalah shama yang jika kita baca dalam kamus bahasa Ibrani artinya to hear intelligently - seringkali digunakan dalam pengertian attention, obedience. Artinya, kata mendengar di sini tidak hanya sekedar mendengar tetapi lebih pada arti “ memperhatikan dengan sungguh-sungguh “. Ini dapat kita relevansikan bahwa perlu kepekaan terhadap panggilan – teguran – petunjuk TUHAN. Peka terhadap sapaan Tuhan mempunyai makna mendengar dengan sungguh-sungguh Allah yang berbicara kepada umat-Nya melalui Alkitab sebagai FirmanNya, melalui berbagai peristiwa dalam kehidupan ini dan sekaligus kesiap sediaan untuk melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya.
“Peka terhadap sapaan Tuhan” itulah yang diperlihatkan samuel. Jemaat Kristus, hal ini menarik. Samuel peka terhadap sapaan atau seruan yang memanggil namanya walaupun ia tidak sadar seruan itu berasal dari Tuhan. “Dengan segera, dan dengan cekatan beraksi, menyatakan siap, menerima perintah, siap disuruh”, dia sangat peka terhadap panggilan namanya. Makin unik lagi, karena panggilan yang sama sampai ketiga kali, tetapi ketiga kalinya ditanggapinya dengan serius dan siap menerima perintah, dia menganggap perintah itu dari bapaknya imam Eli. Untunglah, dibawah pengawasan imam Eli, Samuel mendapat bimbingan untuk sampai kepada sumber panggilan itu yaitu Allah. Akhirnya Samuel menjawab panggilan itu untuk mendengar berita penting, berita pembaharuan Israel yaitu adanya penggantian pemimpin, sebagai hakim, sebagai imam ditengah umat Israel, yaitu Samuel sendiri. Dan kemudian Samuel melaksanakan panggilan itu dan TUHAN menyertai dia dan tidak ada satupun dari firman-Nya itu yang dibiarkan-Nya gugur.
Jemaat TUHAN terkasih, baiklah kita bercermin dari pengalaman Samuel ini, mari merenungkan, sudah berapa kali suara TUHAN kita dengar dalam berbagai cara, apakah kita peka sehingga membawa pembaharuan hidup bagi sesama bagi Gereja, jemaat Tuhan lainnya dan bagi kita sendiri? Layaknya yang dilakukan Eli pada Samuel, bimbingan pun telah banyak kita terima, kita pelajari untuk mengenal suara Tuhan. Tetapi apakah kita peduli dan peka atas suara Tuhan itu ? Marilah kita belajar mendengar dengan sungguh-sungguh suara dan panggilan Allah yang datang tidak hanya terbatas dalam ruang aktifitas lingkup gereja saja tapi juga dalam seluruh peristiwa dalam kehidupan kita. Layaknya diteladankan kisah Samuel, kepekaan terhadap suara Allah memberikan keberanian kepada kita untuk melakukan sesuatu yang baik bagi diri sendiri, keluarga, Gereja dan situasi bangsa dan negara kita yang saat ini masih terus mengalami situasi yang sulit.
2. Hal lain yang bisa kita relevansikan adalah bahwa merenungkan Nats hari ini menghantar kita sampai pada kesadaran akan betapa pentingnya ‘saat-saat diam’ (saat teduh) di hadapan Allah. Samuel sampai pada kesadaran ini karena dia selalu menyiapkan waktu untuk ‘berada’ di hadapan Tuhan. Bagi kita orang beriman, moment semacam ini sungguh penting, tidak saja sebagai ungkapan ketergantungan kita kepada Tuhan, tetapi lebih dari itu sebagai kesempatan untuk mencari kehendakNya, “apa yang Tuhan kehendaki daripadaku dalam hidup ini ?” Jawaban Samuel, “berbicaralah sebab hambamu ini mendengar”, pertama tama merupakan gambaran akan rutinitas hidupnya dimana saat ‘diam’ di hadapan Allah menjadi prioritas utama. Dan yang kedua merupakan ungkapan kesediaannya untuk melaksanakan apa saja yang disabdakan Tuhan kepadanya. Inilah pesan dari Nats hari ini. Aktifitas Saat Teduh, saat berdiam diri dihadapan TUHAN ini juga kita jumpai dalam cara hidup Yesus, dimana di tengah kesibukanNya untuk menyembuhkan banyak orang sakit dan mengusir setan, dia sempat meluangkan waktu untuk berdoa dan dalam moment istimewa ini, Dia menemukan kehendak Bapa-Nya untuk beralih ke tempat lain demi mewartakan Injil hingga kemudian mati di kayu salib menebus dosa manusia. “Saat saat diam/saat teduh/doa di hadapan Allah” merupakan moment “mencharger hidup orang beriman”. Moment inilah yang memberanikan Samuel untuk menyatakan hukuman Allah kepada pembimbing rohaninya Eli karena kejahatan yang dilakukan oleh anggota keluarganya. Moment inilah yang membangkitkan kesadaran pada diri Yesus akan tujuan utama kehadiranNya di dunia. (bnk Doa Tuhan Yesus di Taman Getsemane). Tuhan memanggil kita. Apa yang Tuhan kehendaki dari kita dalam hidup ini? Mungkin cara hidup yang sedang kita jalani merupakan sarana untuk menyatakan kasihNya kepada sesama terlebih mereka yang membutuhkan. Pada saat kita “DIAM” di hadapan Allah, jawaban yang pasti akan ditemukan di sana. Jika kita mencintai Yesus, kita akan mengorbankan hidup kita bagi-Nya. Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat sahabatnya” (Yoh.15:13), dan la melakukannya bagi kita. la secara harafiah benar-benar melakukannya. Yesus sungguh-sungguh mati di kayu salib bagi penyelamatan kita. Sekarang, karena la mencintai kita dan menyerahkan diri-Nya bagi kita, demikian juga kita yang mencintai-Nya memberikan diri kita kepada-Nya sebagai “Persembahan yang hidup”. Paulus menulis, “karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1). Nats dari surat Paulus dikitab Roma ini menarik dan sejajar dengan kisah Samuel. Menjawab panggilan TUHAN, Samuel mempersembahkan dirinya melayani TUHAN.
Samuel mempersembahkan yang hidup dan bukan mempersembahkan yang mati. Dan konsep “mempersembahkan yang hidup dan bukan yang mati” ini merupakan ide baru di zaman Paulus, dan jelas telah mulai “dilupakan” di zaman kini karena telah menjadi istilah yang sangat biasa. Karena banyak yang telah mengukurnya dari nominal jumlah uang-materi-barang dan bahkan telah mengukur jasa dalam pelayanan pada TUHAN. Di zaman PL hingga Paulus, pengorbanan selalu berarti pembunuhan (korban bakaran). Di dalam praktek-praktek agama Yahudi, korban dibawa kehadapan imam, dosa dari orang yang membawa persembahan tersebut diakui atas korban dan dengan demikian secara simbolik memindahkan dosa-dosanya kepada korban yang dipersembahkan tersebut. Kemudian korban tersebut dibunuh. Ini merupakan gambaran yang hidup yang mengingatkan kepada setiap orang bahwa “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23) dan bahwa keselamatan para pendosa digantikan secara substitusi. Di dalam gambaran pengorbanan tersebut, korban yang dipersembahkan mati menggantikan tempat manusia yang mempersembahkannya. Korban tersebut harus mati agar orang tersebut tidak mati mati. Tetapi sekarang, dengan ledakan kreativitas Iliahi yang diinspirasikan, Paulus mengatakan bahwa persembahan yang kita persembahkan adalah persembahan yang hidup, dan bukan yang mati. Dan sebenarnya, bukankah ini juga yang dilakukan Samuel menjawab sapaan – panggilan TUHAN dalam Nats ini. Samuel mempersembahkan dirinya menjadi alat TUHAN Allah menyetakan kehendakNya. Ini luar biasa.
Samuel mempersembahkan yang hidup dan bukan mempersembahkan yang mati. Dan konsep “mempersembahkan yang hidup dan bukan yang mati” ini merupakan ide baru di zaman Paulus, dan jelas telah mulai “dilupakan” di zaman kini karena telah menjadi istilah yang sangat biasa. Karena banyak yang telah mengukurnya dari nominal jumlah uang-materi-barang dan bahkan telah mengukur jasa dalam pelayanan pada TUHAN. Di zaman PL hingga Paulus, pengorbanan selalu berarti pembunuhan (korban bakaran). Di dalam praktek-praktek agama Yahudi, korban dibawa kehadapan imam, dosa dari orang yang membawa persembahan tersebut diakui atas korban dan dengan demikian secara simbolik memindahkan dosa-dosanya kepada korban yang dipersembahkan tersebut. Kemudian korban tersebut dibunuh. Ini merupakan gambaran yang hidup yang mengingatkan kepada setiap orang bahwa “Upah dosa adalah maut” (Roma 6:23) dan bahwa keselamatan para pendosa digantikan secara substitusi. Di dalam gambaran pengorbanan tersebut, korban yang dipersembahkan mati menggantikan tempat manusia yang mempersembahkannya. Korban tersebut harus mati agar orang tersebut tidak mati mati. Tetapi sekarang, dengan ledakan kreativitas Iliahi yang diinspirasikan, Paulus mengatakan bahwa persembahan yang kita persembahkan adalah persembahan yang hidup, dan bukan yang mati. Dan sebenarnya, bukankah ini juga yang dilakukan Samuel menjawab sapaan – panggilan TUHAN dalam Nats ini. Samuel mempersembahkan dirinya menjadi alat TUHAN Allah menyetakan kehendakNya. Ini luar biasa.
3. Berkaitan dengan Thema Nats, Peka terhadap panggilan-sapaan TUHAN, muncul pertanyaan : bagaimana caranya untuk bisa mendengar suara atau mengetahui kehendak Tuhan (sesuai dengan Nats Yoh 10:27 : “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku “)?. Saudara terkasih, semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak Allah (Roma 8:14). Dalam bahasa aslinya kata anak ini dituliskan dengan kata ‘huios’ yang berarti anak yang sudah dewasa (sekitar 30 thn). Biasanya domba-domba dewasalah yang mampu mengenali suara dari gembalanya dengan baik sedangkan domba-domba yang belum dewasa kurang mampu mengenali suara gembalanya dengan baik. Anak-anak domba yang masih muda mengikuti domba yang telah dewasa untuk bisa mengenali suara gembala mereka. Ketika gembala memanggil maka domba-domba yang dewasa akan mengenali suara tersebut, lalu domba-domba yang lebih muda akan mengikuti mereka. Dari sini kita relevansikan, tidak ada jalan pintas untuk mampu mendengar suara atau mengetahui kehendak Tuhan dengan baik. Dibutuhkan sebuah kedewasaan/kematangan rohani untuk memiliki hikmat ilahi yang dapat membedakan sesuatu itu kehendak Allah atau bukan. Bergaullah dengan Allah dan berkomunikasilah denganNya setiap hari lewat doa Pelajari dengan baik Firman Allah sehingga kerohanian kita bisa bertumbuh menuju kedewasaan. Jika kita hidup intim dan bergaul dengan Allah maka kita bisa memahami keinginan Allah. Semakin kita dewasa rohani maka kita akan semakin mengenal suaraNya dengan baik. Kemudian, persekutuan dengan sesama saudara seiman juga penting, sebab tanpa persekutuan dengan sesama saudara seiman, kita tidak bisa bertumbuh dengan baik. Domba akan mudah tersesat dan dimangsa serigala jika ia sendirian. Saudara terkasih Jemaat Kristus, sampai hari ini, iblis masih berusaha menipu banyak orang dengan berusaha membuat manusia semakin tidak mengenal panggilan dan sapaan Tuhan. Hal lain yang membuat manusia tidak peka terhadap panggilan dan sapaan Tuhan ditengah kehidupan dan tantangannya adalah sikap mengeluh dan kekhawatiran, sebagai akibatnya kita tidak menangkap suara Roh Kudus yang sangat lemah-lembut dan menghibur. Hanya kuatir dan risau yang menguasai hati dan pikiran, bukan suara Firman Tuhan. Padahal seperti yang digambarkan dalam Mazmur 23, bahwa kehidupan itu layaknya sekelompok kawanan domba yang dibimbing menjalani padang luas menuju padang rumput, setiap umat gembalaan Tuhan sebenarnya tidak perlu risau, dan takut sekalipun berjalan dalam lembah kekelaman. Karena jika selalu setia dan “diam” dalam naungan gembalaanNya, maka kita akan dilindungi dan dibimbingNya. Domba harus siap untuk percaya bahwa gada dan tongkat Gembala itu yang membawa penghiburan dan perlindungan. Maka jika demikian, dombaNya yang percaya akan merasakan kesetiaanNya dan kemudian melihat kebaikanNya yang melampaui segala pengertian dan pengetahuan, dan itu akan menyertai sepanjang hidupnya. Haleluya.