Monday, September 13, 2010

Ev. Efesus 5:22-23 (Minggu, 03 Oktober 2010: 18 Set Trinitatis)

Istilah yang dipakai dalam bahasa Ibrani untuk menyebutkan istri dan suami dipakai kata “איש” (is: suami) dan “אישה“ (isah: isteri). Sedangkan untuk menyebut laki-laki dan perempuan cenderung langsung tertuju pada alat reproduksinya misalnya untuk laki-laki dipakai sebutan zakar dan perempuan disebut nebula. Ada pesan khusus yang ingin disampaikan kepada para istri dan suami lewat pesan Paulus kepada Jemaat Galatia dalam nats di atas.


Disebut suami dan istri, oleh Paulus yang dimaksud tidak sekedar hanya hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan, melainkan pertemuan pribadi, hakaket, kedirian dan kehormatan yang memiliki setatus yang sama di hadapan Allah. Hubungan suami istri tidak semata-mata didasarkan pada hubungan seks, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (lih. Kejadian 2:24-25). Dipakai kata is dan isah untuk menyebut laki-laki dan perempuan (suami dan istri). Diperkuat lagi dengan penciptaan manusia itu sendiri, Adam diciptakan dari debu dan tanah yang kemudian kepadanya dihembuskan nismat hayim, sehingga dia hidup. Dan dari tulang rusuknya dibangun seorang perempuan yang kemudian setelah dibawa kehadapan manusia itu, ia berkata “: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan (isah), sebab ia diambil dari laki-laki (is)” (Kejadian 2:21-23).


Penciptaan menurut tradisi Yahwis, memiliki tedensi kesetaraan suami dan istri dalam segala hal. Bahkan dapat dikatakan satu zat, roh dan semangat. Mengapa? Karena pada masa penciptaan jika diperhatikan tidak ada penghembusan nismat hayim oleh Allah khusus kepada perempuan. Perempuan dibangun lewat dan di dalam kehidupan yang sama dimiliki oleh manusia (laki-laki, Adam). Prisip inilah yang dipegang kuat oleh Paulus dan menjadi nasehat bagi kita lewat suratnya kepada jemaat di Galatia. Namun penting dipahami bahwa peristiwa penciptaan Adam dan Hawa dibarengi dengan perintah taat dan tunduk kepada Allah. Allah bukanlah orangtua yang melahirkan Adam dan Hawa, melainkan Pencipta mereka. Maka, hubungan antara mereka dengan Tuhan tidak identik dengan hubungan anak terhadap orangtuanya di dalam satu keluarga. Jika dalam Kejadian 2:24-25, disebutkan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan istrinya, bukan berarti berkonotasi Allah menghendaki laki-laki untuk meninggalkan Allah dan bersatu dengan istrinya. Ini tidak melegalkan setiap laki-laki yang ingin menikah dengan perempuan, (khususnya non-kristen) kemudian meninggalkan Tuhan.


Ada yang baru disampaikan Paulus lewat suratnya, di dalam pernikahan yakni di dalam kesatuan hubungan suami dan istri sebagai keluarga, Paulus menegaskan bahwa Kepala dalam rumah tangga atau atas kesatuan itu adalah Yesus Kristus. Dengan demikian, kebersamaan suami dan istri tidak boleh lepas dari ikatannya dengan Kristus (Efesus. 5:23). Dalam Perjanjian Lama, kerap disebutkan bangsa Israel melakukan perzinahan dengan meninggalkan Allah dan pergi menyembah allah-allah lainnya (lih. Ulangan 31:16; Hakim-hakim 2:17; I Tawarikh 5:25; II Tawarikh 21:11). Setiap keluarga yang dibangun, laki-laki yang mengambil perempuan manapun untuk kemudian menjadi istrinya, ia tidak boleh pisah dari Kristus. Sama seperti Kristus sebagai Kepala Jemaat, dalam hubungannya tersebut Kristus sebagai suami dan jemaat sebagai istri. Sebab itu, kesatuan suami dan istri sangat ditekankan memahami kewajiban dan haknya. Istri diharapkan untuk tunduk kepada suami (Efesus 5:22). Ketundukan ini bukan berarti suami dengan segala cara menundukkan istrinya. Jika terjadi penundukan, maka yang ada hanyalah pemaksaan dan ada unsur penindasan. Tunduk dalam pengertian ini adalah berkonotasi kasih dan kesetiaan. Ukuran ketundukkan istri kepada suami, merupakan gambaran ketundukkan jemaat kepada Kristus. Istri menganggap suami sebagai kepala dalam tubuhnya, yang berarti istri tidak dapat melepaskan dirinya dari suami dan begitu sebaliknya. Tidak ada jalan untuk bercerai. Layaknya tubuh, jika kepala pisah dengan tubuh, dan sebaliknya, maka kedua-duanya akan mati, kedua-duanya tidak dapat berfungsi dengan baik, apalagi sempurna. Begitu juga hubungan jemaat dengan Kristus, jika lepas dari Kristus, maka kehidupan jemaat tidak dapat berjalan dengan baik apalagi sempurna. Oleh Paulus, hubungan yang dibangun dalam keluarga, hubungan suami dan istri merupakan gambaran jemaat dengan Kristus. Keduanya harus memiliki keterikatan, dan itulah sumpah atau janji pernikahan, dan janji keselamatan Kristus dengan jemaat. Kristus telah dan mau mengikat dirinya dengan jemaat dan dilakukan dengan kesetiaan., begitu juga dengan hubungan suami dan istri yang telah diikat dalam perjanjian dan sumpah, harus dilakukan dengan kesetiaan. Demikianlah penting adanya ritus pernikahan di dalam GerejaNya, di dalamnya ada janji yang dinyatakan yakni janji Allah dengan pasangan calon suami dan istri dan janji antara sesama pasangan calon suami istri. Disinilah yang dimaksudkan Paulus, istri harus tunduk kepada suaminya, tidak ada konotasi menundukkan atau secara paksa menjadikan tunduk yang diikuti unsur pemaksaan dan penindasan.


Selanjutnya, pada ayat 23, “karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh”. Oleh Paulus inilah gambaran hubungan suami terhadap istrinya, maka itu berarti suami berfungsi untuk menyelamatkan istrinya. Menyelamatkan berkonotasi dengan tindakan mengampuni dan tindakan memperbaharui hubungan setiap harinya. Sehingga, dosa tidak memiliki ruang untuk merusak hubungan. Tindakan untuk memberi jalan hidup terbaik kepada istri (keluarga) sebagai jalan untuk menikmati hidup surgawi. Itulah sebabnya suami terhadap istri harus selalu bersedia mengampuni dan tiap hari memperbaharui relasi dan memberikan jalan hidup pada istri dan bersama-sama membangun hubungan dengan Tuhan di dalam doa sebagai jalan menikmati hidup surgawi. Kata kunci utama: SUAMI MENGASIHI ISTRINYA, SAMA SEPERTI KRISTUS MENGASIHI JEMAATNYA.


Kata yang digunakan untuk kasih/mengasihi adalah kata Yunani Agape kata kerja Agapao yakni hubungan kasih yang tidak mengharapkan imbalan. Sedangkan kata kasih dalam Ibrani dipakai Ahab. Dalam konteks bahasa Ibrani tidak mengenal perbedaan arti kasih seperti dalam bahasa Yunani. Keempat jenis kasih (Agape, Philia, Eros dan Storge) dalam Perjanjian Baru, tergabung di dalam kata Ahab, kata yang dipakai oleh Paulus ini ingin menerangkan bahwa dalam hubungan suami dengan istri dalam keluarga keempat jenis kasih ini haruslah dimiliki dan menjadi dasar hubungan setiap hari.


Berbahagialah keluarga yang hidup di dalam hubungan yang didasari ketundukan istri terhadap suami sebagai wujud kasih dan kesetiaannya dan fungsi suami sebagai penyelamat dengan mengedepankan tindakan mengampuni dan memberikan hidup yang terbaik. Jika hubungan suami dan istri dibalut dengan kasih yang demikian, maka akan menutupi banyak dosa, dan tidak akan mengingat-ingat bentuk kesalahan antara suami dan istri untuk memperlakukan satu dengan lainnya. Amin. (yph)


(Bahan Renungan Kebaktian Pagi di kantor Pusat HKI yang dipimpin Ephorus/Bishop HKI).