Tuesday, September 14, 2010

Perjalanan Ziarah Ephorus & Rombongan (Makam Pdt. FP. Panggabean "Sultan Malu Panggabean"; Pdt. MH. Manullang "Tuan Manullang"; & Pdt. T.J. Sitorus)

Perjalanan Ziarah Ephorus dan Rombongan
Senin, 23 Agustus 2010


Senin, 23 Agustus 2010, perjalanan ziarah untuk kali pertama Pdt. L. Sitorus, MTh yang juga di dampingi oleh Inang Ephorus, setelah sebagai Ephorus HKI 2010-2015 (dilantik setelah Sinode ke 59 di Brastagi), diawali dengan mengunjungi makam tokoh perintis pendiri dan lahirnya HChB yang kemudian menjadi HKI yaitu makam Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean, di Batu Opat, Pantoan, Pematangsiantar (23/8/2010). Kunjungan ziarah dilaksanakan bersama rombongan yang di antaranya diikuti para pengurus pusat HKI untuk masa pelayanan 2010-2015 seperti Pdt. S. Nainggolan, STh, Pdt. MAE. Samosir, MTh dan St. J. Aruan, SH masing-masing sebagai Majelis Pusat dan juga dihadiri Pdt. J. Simanjuntak, STh selaku Praeses HKI, beberapa pendeta HKI lainnya dan tokoh-tokoh masyarakat di Pematangsiantar. Kehadiran Ephorus dan rombongan disambut hangat dan penuh kekeluargaan oleh pihak keluarga dari keturunan keluarga besar Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Di antaranya Inang St. M. Br. Hutapea (parumaen Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean yang menikah dengan anak bungsu beliau Gr. Posman Panggabean)

Kegiatan ziarah diawali dengan pelaksanaan Ibadah bersama, tepat di depan Makam Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Ibadah langsung dipimpin oleh Pdt. MAE. Samosir, MTh sebagai Liturgis dan Pelayan Firman. Dan untuk memimpin Doa Syafaat dipimpin oleh Pdt. J. Simanjuntak, STh. Dalam Khotbahnya Pdt. MAE. Samosir, MTh mengambil nats Firman Tuhan dari Ibrani 13:7, disampaikan: “Bahwa penderitaan yang dialami para Bapa-bapa Gereja abad I tidak menyurutkan semangat mereka mengabarkan Injil Tuhan Yesus Kristus. Malah oleh kekuatan dan penyertaan Roh Allah yang mereka rasakan, mereka semakin gencar melakukannya hingga pada generasi-generasi berikutnya. Demikianlah semestinya kita saat sekarang ini, perjuangan dan semangat yang dimiliki oleh para tokoh-tokoh gereja kita HKI, seperti Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean dalam menghadapi pelbagai kesulitan dan penderitaan untuk menjadi pelaku-pelaku Firman Tuhan haruslah kita lanjutkan untuk semakin mengembangkan Injil Tuhan lewat kehadiran Gereja HKI.” Ditambahkan beliau, “Kedirian HKI seperti yang kita rasakan saat sekarang ini, semata-mata awalnya hanya didorong oleh semangat Iman kepada Kristus. Bukan oleh banyaknya uang, malah tantangan begitu berat untuk menghambati perjuangan Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean, baik yang datang dari zending dan pemerintahan Belanda. Lewat Firman Tuhan yang menjadi kekuatan dan yang senantiasa membakar semangat mengembangkan Kerajaan Allah di Tanah Batak, yang tertulis dalam Yakobus 22:1, “..untuk menjadi pelaku-pelaku Firman”, Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean akhirnya kemudian berhasil mendirikan Gereja Tuhan yang disebut HChB dan sekarang menjadi HKI pada 1 Mei 1927. Demikianlah, untuk kemajuan Huria HKI sekarang ini, semangat iman yang mendorong para tokoh terdahulu harus tetap dipertahankan dan mendorong kita untuk sama-sama berjuang memajukan HKI sekarang dan di masa yang akan datang”, demikian Pdt. MAE Samosir, MTh (mantan Praeses HKI daerah IV Dakota)


Seusai ibadah, dilanjutkan dengan sambutan dari pihak keluarga Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Pesan yang begitu mendalam diutarakan oleh Inang St. M. Br. Hutapea mengawali sambutannya. Beliau berkisah bagaimana beratnya tantangan yang dihadapi Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean dalam memperjuangkan berdirinya HChB. Namun, sekarang beliau menjumpai kondisi yang memilukan hatinya dari para pelayan HKI, khususnya pendeta yang melayani di HKI Batu Opat, Pantoan. “Sempat beberapa lama Gereja HKI Batu Opat, Pantoan tidak memiliki pendeta yang mau melayani, oleh karena minimnya kesejahteraan yang dapat diberikan oleh jemaat”, demikianlah dikisahkan beliau dengan wajah sedih dan mencucurkan air mata. Ditambahkan lagi, “Saya sering menangis di makam amang ini, melihat kondisi Gereja HKI yang ada di sini”. Dengan penuh harapan, Inang St. M. Br. Hutapea berharap ada perubahan untuk yang lebih baiknya lagi di Gereja HKI Batu Opat, Pantoan. Sebelum mengakhiri sambutannya, Inang St. M. Br. Hutapea juga mengkisahkan asal usul gelar “Sutan Malu” dari Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Dulu, kata beliau, Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean, dapat dikatakan seorang yang pintar dan cerdas, telah banyak tempat di jalani beliau untuk menjalankan tugas di bidang hukum dan pada suatu saat, ada seorang rekan kerja dan sekaligus pimpinan beliau yang menyarankan agar beliau meninggalkan Kekristenan dan masuk agama lain untuk memperoleh kedudukan dan jabatan yang lebih tinggi lagi. Namun, oleh karena keteguhan iman kepercayaannya kepada Kristus Yesus, beliau menolaknya. “Saya MALU meninggalkan agama saya!”, ditirukan oleh Inang St. M. Br. Hutapea Sejak itulah kemudian rekan-rekan sekerjanya menggelari beliau sebagai “Sutan Malu”. Dan kemudian menjadi gelar yang melekat pada diri beliau.” Sambutan dari pihak keluarga kemudian ditambahkan oleh cucu Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean (anak dari Inang St. M. Br. Hutapea) yang mengharapkan adanya renovasi makam dari Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. “Sebagai warga HKI saya sering merasa sedih melihat makam dari ompung saya, banyak orang bertanya, tentang makam Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean, misalnya, “Benar ini tokoh pendiri HKI?, dan dengan berat dan sedih saya menjawabnya. Jadi amang Eporus kami, tolonglah ada pemugaran dari makam opung kami ini (Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean), tidak banyak hanya Rp. 100.000.000,- (seratus juta) saja”, ditambahkan beliau yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dan hangat dari para rombongan yang hadir.


Acara kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari Ephorus HKI, Pdt. Dr. Langsung Sitorus, MTh. “Saya senang melihat kekompakkan kita saat ini. Dan, baru sekarang ini saya mengetahui persis tentang gelar Sutan Malu yang dipakai oleh Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Gelar yang disematkan dengan makna yang begitu dalam dari kegigihannya mempertahankan imannya kepada Yesus Kristus. Dan itu, harus kita teladani” diungkapkan beliau dalam mengawali sambutannya. Dalam sambutan beliau, ada beberapa pesan yang disampaikan untuk semua yang hadir dan Gereja HKI secara keseluruhan di antaranya adalah untuk jemaat dan pelayan di HKI Batu Opat, Pantoan, agar melaksanakan kegiatan gereja yakni pada masa buhabuha ijuk (acara gereja menjelang paskah) dan pada 1 Mei setiap tahunnya harus dilaksanakan kebaktian memperingati hari berdirinya HKI di makam Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean. Kemudian ditambahkan Ephorus “Bahwa, ada yang hampir terlupakan sebagai yang juga tokoh HKI lainnya, yakni Guru Posman Panggabean. Beliau adalah tokoh yang memiliki semangat persatuan. Beliaulah yang menjadi inisiator menyatukan HChB, GKB dan HKI pada tahun 1977. Semangat kesatuan ini, pada konteks kekinian HKI, haruslah kita miliki untuk menyatukan gereja-gereja Lutheran khususnya. Saya ingat pesan dari bapak saya Pdt. T.J. Sitorus (Ephorus HKI pertama), untuk menyatukan kembali Huria ke bona na.” ungkap Ephorus. Selain pesan untuk para jemaat dan pelayan di HKI Batu Opat, Pantoan, Ephorus juga berpesan, “Kepada para pendeta HKI yang melayani di HKI Batu Opat, Pantoan, agar jangan kuatir dan takut untuk menjadi pelayan di sini karena kurangnya kesejahteraan. Kita akan bersama-sama untuk memenuhi kesejahteraan para pendeta secara merata”, janji Ephorus. Menanggapi rencana pemugaran yang diharapkan pihak keluarga, Ephorus berpesan, “Sudah bisa dimulai dengan langkah-langkah sederhana untuk memperbaiki makam, misalnya dengan menata makam menjadi lebih indah, menunggu terkumpulnya dana renovasi. Kalaupun harus selesai selama 2 tahun kedepan. Apa yang bisa kita perbuat untuk saat ini meskipun kecil, itu sudah sangat beharga. Dengan memperbaiki makam ini, sebagai pertanda bahwa HKI atau jemaat-jemaat HKI semakin memperbaiki kepercayaannya”. Akhir dari sambutannya, Ephorus mengingatkan kembali bahwa adalah tanggungjawab para jemaat dan pelayan HKI dimanapun berada untuk tidak melupakan tokoh-tokoh Huria HKI, dengan memberikan diri untuk sama-sama berjuang memajukan HKI dengan semangat yang dahulu ada pada para tokoh. Sehingga di seluruh Indonesia, karya Pdt. FP. Sutan Malu Panggabean dapat dirasakan. Boleh berbeda pendapat dan berbeda pendapatan, tetapi harus tetap satu dalam perjuangan dengan semangat iman untuk mengembangkan HKI.


Sebagai acara penutup, semua rombongan bersama keluarga kemudian makan siang bersama, dan kegiatan ziarah ditutup dengan doa dari Pdt. Surungan Situmorang, STh. (yph)

Perjalanan Ziarah Ephorus dan Rombongan
Kamis, 26 Agustus 2010


Perjalanan ziarah selanjutnya, Ephorus di dampingi Istri bersama dengan rombongan di antaranya Pdt. S. Nainggolan, STh, Pdt. N. Sinaga, STh dan Pdt. K. Sirait, STh, Pdt. F. Simamora, STh dan Pdt. L. Simamora (Pendeta Resort HKI Tarutung Barat), dilaksanakan pada Kamis, 26 Agustus 2010 ke makam Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI sekaligus Pendeta Pejuang HKI, Pdt. MH. Manullang di Tarutung, setelah terlebih dahulu menghadiri acara pengambilan janji dan syukuran Bupati (Bapak Drs. Maddin Sihombing, Msi) dan Wakil Bupati (Bapak Drs. Marganti Manullang) Humbang Hasundutan. Rombongan di sambut hangat oleh keluarga besar di antaranya cucu dari Pdt. MH. Manullang, Amang St. SMT. Manullang (Sintua di HKI Siualuompu), yang kemudian dijamu makan bersama. Di sela-sela makan bersama, amang St. SMT. Manullang banyak berkisah mengenai riwayat dan perjuangan Pdt. MH. Manullang dan yang kemudian diperluas oleh Amang Ephorus.


Sekilas mengenai riwayat dan perjuangan Pdt. MH. Manullang. Tokoh yang memiliki nama lengkap Mangihut Mangaradja Hezekiel Manullang, disapa dengan “Tuan Manullang”, lahir di Tarutung, 20 Desember 1887 dari ayah Singal Daniel Manullang dan ibu Chaterine Aratua br. Sihite, dan meninggal di Jakarta, 20 April 1979 (dimakamkan di Tarutung). Pendidikan beliau Sekolah Raja di Narumonda, Porsea, Tapanuli Utara dan Senior Cambridge School, Singapura, 1907- 1910. Tentang karirnya di antaranya adalah Pendiri dan penerbit surat kabar Binsar Sinondang Batak (BSB), 1906; Guru Sekolah Methodist, 1910; Pendiri organisasi social politik Hatopan Kristen Batak (HKB); Pendiri dan Pemimpin Redaksi surat kabar Soara Batak (1919-1930); Memprakarsai Persatuan Tapanuli (1921) dan Persatuan Sumatera (1922); Kepala dinas propaganda Jepang tahun 1943-1945; Pendeta HKI ditabiskan pada tahun 1940; dan pernah dipenjara di Cipinang 1922-1924 akibat tulisannya menentang penjajah Belanda. Penghargaan yang telah diterima dari Pemerintahan Indonesia pada tanggal 2 Oktober 1967 dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan Indonesia.


Pendeta Mangaraja Hezekiel Manullang telah membantu melayarkan suatu perahu, yang didalamnya Batak dan Indonesia menyatu, untuk mengarungi dunia menuju dunia yang baru. Itu perahu, yang dia turut memberi namanya Huria Kristen Indonesia, suatu gereja yang baru, sampai akhir zaman akan laju. Dari dia orang dapat tahu, berpolitik dan berpartai bukan suatu hal yang tabu, pendeta pun bisa menjadi pelaku, asal demi bangsa, kerukunan dan kemajemukan yang menyatu dan kalau perlu menjadi abdi negara pembawa damai yang bahu-membahu. Perjuangan beliau yang sengat dirasakan adalah penolakkannya terhadap aneksasi tanah Batak, suaranya yang menolak penyingkiran orang Batak di tanah leluhurnya, pasti tidak akan pernah redup dan masih relevan hingga sekarang. Dengan semangat beliau, dapat kita katakan sekarang, Tanah Batak adalah milik orang Batak. Register-register yang dibuat Belanda dulu, bukan legitimasi bagi pengusaha maupun pemerintah zaman sekarang untuk mencaplok tanah Batak. Seruan beliau: “ula tanom ulang digomak, ulando” berlaku juga sekarang. Para pemilik modal (kapitalis) tidak boleh menguasai sejengkalpun tanah Batak, tetapi mereka harus membantu orang Batak “mangula tanona” (mengolah tanahnya). Orang Batak tunduk pada pemerintah yang mengayomi tanah Batak, dan bukan yang merampas atau menjajah tanah Batak.

Sebagai seorang yang lahir dalam suatu keluarga ‘pahlawan,’ dan kepahlawanan sang ayah ditingkatkan oleh sang anak. Dengan menonjolkan sang ayah sebagai ‘perwira intel raja Sisingamaraja’ yang didutakan ke Peanajagar dekat Tarutung. Ompu Singal Manullang (melalui pendidikan keluarga) berhasil menanamkan jiwa ‘merdeka’ dalam diri Mangihut Mangaraja Hezekiel Manullang. Dari kecil Pdt. MH. Manullang dipersiapkan mengemban makna nama ‘baptis’ yang diberikan missionaris kepadanya. Karakternya diharapkan seperti Hezekiel di Alkitab, dan sang tokoh diharapkan ‘mengikut’ (mengihut) karakter itu dan nantinya berjuang di tengah bangsanya dengan cara damai tanpa kekerasan; memperbaiki dan mempersatukan bangsanya yang telah ‘berserak-serak’ (seperti di pembuangan). Kemudian dia mendapat nama Mangaraja, suatu nama kehormatan, baik di Angkola, maupun di Toba. Nama itu mendekatkan sang tokoh kepada rajanya (Singa-Mangaraja), tetapi tidak melangkahi rajanya. Dia bisa ‘mangaraja’ tetapi sang raja yang meng-singa (merancang). Nama itu menempatkan dirinya dengan baik di tengah kaum ‘hula-hula-nya’, kaumnya Batak-Toba, dan negeri yang kepadanya dia mengabdi. Nama itu juga, dengan didukung oleh kepintaran yang dimilikinya, memungkinkan sang tokoh dipanggil ‘Tuan Manullang’, yang bermkna lebih hormat dibanding dengan gelar-gelar tuan yang dilekatkan kepada berbagai ‘kakek-moyang’ orang Batak. Nama panggilan ini, yang menjadi semacam ‘identity card’, menyamakan dirinya dengan kaum sibontar mata.


Pdt. MH. Manullang digambarkan sebagai pemuda yang merdeka, gesit dalam belajar dan erat dalam bergaul, suaranya didengar di kalangan kelasnya. Beliau mampu menggerakkan kawan-kawannya untuk ‘demo’ memprotes hal-hal yang dipandang kurang beres menurut ukuran kekristenan yang sudah tertanam dalam dirinya mulai dari rumah dan jemaat yang mendidiknya. Beliau murid Sekolah Anak Raja (SAR) di Narumonda, tetapi mampu juga menguasai ilmu jurnalisme dan cetak-mencetak. Walau tidak tamat, tetapi mendapat bekal menunjukkan dirinya sebagai penggerak yang didorong oleh ketidak-puasannya melihat kondisi bangsanya. Itu yang terjadi pada dirinya setelah dipecat dari SAR, beliau menjadi aktivis, yang berhadap-hadapan bukan dengan pendeta pribuminya, melainkan dengan pendeta Eropa yang memicingkan mata melihat pribumi ingusan. Penerbit BSB menjadi tampilan orang yang berjiwa ‘merdeka’. Orang tuanya, yang berjiwa merdeka, ingin agar puteranya mendapat pendidikan yang sesuai jiwanya, ‘merdeka’, sehingga dia dikirim belajar ke Singapura. Pendidikan Methodist lebih menerampilkannya, tetapi rupanya sanubarinya telah dirasuk ‘kemerdekaan Kristen’ yang diajarkan kaum Lutheran. Dia menjadi perintis beberapa jemaat Methodist di Jawa, tetapi di matanya terpampang ancaman derita yang akan dialami bangsanya, Batak, sewaktu melihat derita penduduk Jawa yang sudah lama dijajah Belanda. Di Jawa dia sudah menyadari perlunya; Pendidikan untuk semua, dan pendidikan harus terjangkau oleh rakyat semiskin apapun. Walaupun dia membawa keluarga ke Jawa, tampaknya panggilan kampung halaman lebih kuat.

Pdt. MH. Manullang menjadi penggerak kesadaran kemerdekaan bangsanya. Sang Tokoh memilih Balige menjadi tempat awal perjuangannya di tanah leluhurnya, dan menjadikan Balige sebagai sentra pergerakannya. Dia memberi contoh, bahwa seorang terpelajar harus dapat menafkahi diri dan keluarganya dengan usahanya sendiri, dan usaha itu dapat dibuat berdampak kemajuan dan menyadarkan bangsa untuk pergerakan nasional. Dia cermat melihat perkembangan situasi dan gerak-gerik penjajah. Semangat ‘kemerdekaannya’ menggelegak, sehingga dia dapat merubah kumpulan koor “Hadomuan” yang dimasukinya/dipimpinnya di Balige menjadi tempat mendiskusikan situasi ‘tanah air orang Batak’ dan menjadi alat yang menyuarakan bahaya yang telah mengancam tanah Batak, dan menjadi gerakan politik yang diberi nama HATOPAN KRISTEN BATAK. Pemimpin gereja di Balige setuju atas gerakan itu sehingga tidak ada keberatan sewaktu pendirian organisasi ini dilakukan tanggal 21 September 1917 di gereja Batakmission Balige. Para Zendeling pada mulanya melihat rencana Belanda mengkonsesi tanah Batak kepada kaum pemilik modal. Itu jelas selagi ketua HKB dipegang oleh guru Polin Siahaan, dan Mangaradja Hezekiel Manullang hanya sebagai wakil ketua. Para Zendeling mulai gusar dan mulai menolak HKB setelah MH Manullang menjadi ketua pergerakan ini pada Kongres HKB tanggal 25-28 Januari 1918. Kegusaran itu dilatarbelakangi oleh pengenalan mereka tentang sang tokoh yang sudah berani mengatakan tidak setuju kepada pendapat Zendeling, sejak dia sekolah di SAR Narumonda. Ternyata HKB berhasil menyadarkan orang Batak, bahwa darah kemerdekaannya harus dipelihara dan diperjuangkan, dan mulai bergerak untuk itu dalam berbagai lini kehidupan termasuk lini kehidupan kegerejaan.


Meskipun Pdt. MH. Manullang tidak ikut dalam pendeklarasian tiga gereja mandiri di Sumatera tahun 1927 (Huria Christen Batak/Huria Kristen Batak, Punguan Kristen Batak, dan Mission Batak), tetapi perjuangan/pergerakan yang dirintis beliaulah yang mendorong para pencetus gereja mandiri tersebut mendeklarasikan kemandiriannya. Tuan Manullang masuk menjadi hamba TUHAN di Huria yang sesuai dengan semangat perjuangannya. Jiwa nasionalisnya kemudian ditunjukkannya melalui peranannya menuntun Huria Christen Batak, yang menahbiskannya menjadi pendeta tahun 1940 dan menempatkannya melayani di Siaualompu Tarutung, untuk menyesuaikan diri dengan semangat perjuangan nasional Indonesia. Beliau tahu bahwa HChB merupakan dampak dari demam kemandirian yang sudah tercanang di Tanah Batak, yang sedikit banyak sebagai imbas pergerakan HKB yang pernah dipimpin sang tokoh. Dengan penuh kesadaran beliau menempuh jalan masuk menjadi pendeta di Huria mandiri ini. Beliau tahu banyak pergolakan di huria yang dimasukinya, tetapi dia tidak ikut mencampurinya. Tetapi sewaktu tiba masanya, bersamaan dengan waktu sesudah NKRI diproklamasikan, dia ikut menuntun Huria yang dilayaninya tersebut memasuki ‘suasana’ nasional yang mulai bersinar. Maka walaupun tidak dicatat terlalu banyak tentang peranannya di sinode HChB yang diadakan di Jemaat HChB Patane Porsea tanggal 16-17 Nopember 1946, dapat dipastikan bahwa sang tokoh menuntun Huria mandiri ini (HChB) mengubah namanya menjadi Huria Kristen Indonesia (HKI).

Mungkin semangat itu sebagai pencapaian sementara cita-citanya yang menginginkan adanya Gereja Raya di Tanah Batak atau di Indonesia. Pengalaman dipenjarakan Jepang (1942) dan panggilan tugas di pemerintahan Jepang (kepala dinas propaganda Jepang) tahun 1943-1945 membuat sang tokoh tidak dapat ditempatkan menjadi pendeta yang penuh waktu di resort HKI. Tetapi setiap minggu beliau melayani, berkhotbah di Jemaat HKI di mana beliau berada. Beliau menjadi penopang pucuk pimpinan HKI yang dipimpin oleh Pdt. Thomas Josia Sitorus mulai pada tahun 1946 dalam menghadapi perkaranya dengan FP Soetan Maloe yang terus memimpin HChB yang tidak mengakui keputusan sinode HChB di Patane Porsea. Walaupun berperan sebagai abdi negara di zaman kemerdekaan, Pdt. Mangaradja Hezekiel Manullang terpilih juga menjadi anggota Pucuk Pimpinan HKI tahun 1955-1959 dan 1959-1960. Sewaktu beliau sudah berdomisili di Medan tahun 1950 dan bekerja sebagai patih (sampai pensiun 31 Maret 1958) beliau terus membantu perkembangan jemaat-jemaat HKI Medan. Setelah beliau pindah ke Jakarta agar bersama keluarga puteranya sejak tahun 1967, beliau mendaftar menjadi anggota jemaat HKI di HKI Pulomas yang sudah berdiri sejak 2 April 1967 (gereja HKI tertua di Pulau Jawa), dan kemudian ikut menggerakkan berdirinya HKI Cililitan yang berdiri tanggal 30 Agustus 1970. Beliau menjadi gembala yang menasihati jemaatnya agar utuh bila terjadi riak-riak dalam kehidupan jemaatnya.


Di bidang pendidikan, Pdt. MH. Manullang dapat disebut sebagai penopang untuk kemajuan lembaga pendidikan yang diselenggarakan gereja. Tuan Manullang adalah tokoh yang berpendidikan tinggi dan punya pengalaman pendidikan di luar negeri. Gereja yang dimasukinya juga adalah gereja yang harus mendidik putra-putrinya secara mandiri. Di awal HChB, sekolah-sekolah HChB terkenal sebagai sekolah-sekolah liar (wilde school). Kehadiran Tuan Manullang di pemerintahan Republik ini membuat pengurusan sekolah-sekolah itu menjadi sekolah-sekolah bersubsidi. Sebagai Abdi Negara yang menjalankan misi damai, demi kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Dan di zaman mempertahankan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan sekarang ini, mudah-mudahan cita-cita beliau tentang “Gereja Raya” dapat diterjemahkan gereja-gereja masa kini dalam usaha menyatukan (bahkan kalau perlu melebur) gereja-gereja Lutheran yang ada. Semangat perdamaian di tengah-tengah bangsa, harus ditularkan menjadi semangat perdamaian di seluruh gereja-gereja yang ada, sehingga sekat-sekat denominasi bisa terhapus.

Menjelang masa-masa tuanya dan ujung hidup Pdt. MH. Manullang, oleh Jemaat jenazah beliau diberangkatkan Siwaluompu, sesudah beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta tanggal 20 April 1979, setelah menerima perjamuan Kudus di Rumah Sakit Cikini Jakarta, dan kemudian disambut jemaat HKI bersama semua pendeta HKI di Silindung di Siualuompu untuk memberikan penghormatan terakhir dan menghantar beliau ke tangan Allah Bapa dalam Tuhan Yesus Kristus. Tanggal 7 Mei 1979, jemaat HKI Siualuompu yang dilayaninya dalam awal kependetaannya (1941/dua tahun setelah jemaat ini berdiri tanggal 7 Mei 1939) memberikan tanda penghormatan dan surat penghargaan atas jasa-jasa beliau dalam membangun HKI. HKI harus melihat akhir hidup sang tokoh, dan terus bergumul untuk melanjutkan cita-citanya. (dikutip dan disesuaikan dari catatan Amang Ephorus, Pdt. L. Sitorus, MTh dalam bedah buku TUAN MANULLANG ditulis oleh Dr. PTD. Sihombing, M.Sc., S.Pd di Jakarta 24 Mei 2008).


Akhirnya Ephorus berpesan diakhir acara ziarah kepada yang hadir dan HKI secara umum untuk mengingat setiap para tokoh-tokoh gereja HKI terdahulu dan bersama melanjutkan perjuangan dan cita-cita mereka. Kegiatan ziarah kemudian diakhiri dengan bernyanyi dan berdoa yang langsung dipimpin oleh Amang Ephorus. Sebagai dokumentasi diikuti dengan foto bersama di depan makam dan dilanjutkan dengan foto bersama dengan keluarga besar di depan rumah yang dulunya sebagai tempat tinggal Pdt. MH. Manullang bersama orangtua dan sanak keluarga lainnya. (yph)

Perjalanan Ziarah Ephorus dan Rombongan
Minggu, 29 Agustus 2010


Bersama dengan rombongan, seusai ibadah dan temu ramah dengan jemaat di HKI Patane, Porsea, pada Minggu, 29 Agustus 2010, Ephorus dengan didampingi oleh Inang Ephorus, kembali melakukan kunjungan ziarah ke makam Pdt. T.J. Sitorus, Ephorus kedua di HChB sejak tahun 1946 – 1978.


Bersama Ephorus juga hadir, Drs. Hulman Sitorus (Mantan Kadis Pendidikan Tobasa), Pdt. S. Nainggolan, STh (Majelis Pusat HKI), masing-masing beserta keluarga, Pdt. C.H. Siahaan, SmTh didampingi istri, dan Pdt. H. Togatorop, STh.


Setelah selesai mengadakan kebersihan di sekitar makam, di dalam pesan-pesannya kembali Ephorus mengharapkan dan mengajak semua pihak yang ada di HKI secara umum untuk mengingat, meneladani dan melanjutkan semangat, perjuangan dan cita-cita dari para tokoh pendahulu di HKI.


Mengenang perjalanan hidup dari Pdt. T.J. Sitorus (11 November 1914 – 5 Oktober 2002), yang tidak lain adalah Bapak (Bapak Uda) dari Pdt. Dr. Langsung Sitorus, MTh; Ephorus mengisahkan bahwa perjalanan hidup Pdt. T.J. Sitorus yang dianugerahi delapan anak (5 laki-laki dan 3 perempuan) senantiasa berpedoman pada pesan Firman Tuhan dalam Matius 6:33 “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”, (ayat ini kemudian diukirkan pada nisan dari Pdt. T.J. Sitorus). Semasa hidupnya, terlebih di dalam kependetaannya, beliau senantiasa menghidupi Firman Tuhan ini dan mengerjakannya, dan percaya bahwa yang lain (kebutuhan hidupnya) akan ditambahkan Tuhan kepadanya. Beliau tidak pernah mengeluh terhadap kesejahteraan semasa mengemban tugasnya sebagai pendeta di HKI. Dan semuanya nyata dialami beliau, lewat hasil haumanya, Tuhan mencukupkan segala kebutuhan keluarga. Hanya satu yang menjadi kegelisahan beliau, tidak adanya dari anak-anak beliau yang mau untuk melanjutkan sekolah ke sekolah kependetaan. Meskipun, seorang anak beliau akhirnya mau melanjutkan sekolah di sekolah kependetaan, namun menjelang akhir sekolahnya Tuhan berkehendak beda, Tuhan terlebih dahulu memanggilnya. Kejadian ini, yang kemudian membawa istri beliau, E.br. Manurung (10 Juli 1966 – 17 Desember 1984) menjadi depresi berkepanjangan hingga tutup usia. Sebagai pendeta dan orator handal, cukup sedikit yang dapat diperoleh hasil buah pikiran beliau (berupa bahan-bahan khotbah), hal ini disebabkan bahan khotbah yang beliau tuliskan tatkala hendak berkhotbah hanya penggalan-penggalan garis besarnya saja. Meskipun demikian, khotbah beliau tetap kontekstual dengan pesan Firman Tuhan dalam nats yang menjadi bahan khotbah. Bahan Khotbah beliau yang dapat dibaca lengkap, hanya dapat ditemui dalam Almanak HKI untuk Khotbah Tahun Baru. Dalam perjalanan pelayanan dan perjuangan beliau sebagai pendeta di HKI, beliau dikenal sebagai seorang yang berkarisma dan berwibawa yang datangnya dari Tuhan. Beberapa masalah yang pernah ada baik di dalam gereja dan masyarakat, selalu berakhir dengan damai dan baik jika beliau sudah hadir dan memberikan nasehat dan pandangannya. Meskipun, suatu saat beliau pernah diancam ditembak oleh seorang warga jemaat, ketika sedang berkhotbah, namun kemudian dapat berdamai. Dikisahkan Ephorus kepada rombongan yang ikut serta.


Ada satu semangat yang pantas untuk di teladani hingga saat ini dari Pdt. T.J. Sitorus, (yang oleh dorongannya kepada Pdt. Dr. Langsung. Sitorus MTh, kemudian membawa Pdt. Dr. Langsung Sitorus, MTh melanjutkan sekolahnya ke sekolah kependetaan pada tahun 1973 dengan cita-cita yang dipesankan untuk membawa kembali huria tu bona na, dan menjadi cita-cita dan perjuangan yang masih terus dikerjakan oleh Pdt. Dr. Langsung Sitorus, MTh hingga saat sekarang ini), yakni semangat beliau yang tidak akan mundur atau menyerah untuk mempertahankan yang baik dan benar. Tekadnya adalah untuk menghadirkan HKI hingga dikenal baik di ruang lingkup nasional dan internasional. Kerinduannya untuk keesaan dan kesatuan gereja-gereja yang ada senantiasa menjadi cita-cita luhur dalam perjuangannya. Itulah tugas dari HKI saat sekarang ini yang harus terus diperjuangkan. “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka (Ibrani 13:7)”, pesan Ephorus menutup kisah perjalanan hidup Pdt. TJ. Sitorus.


Kegiatan ziarah di akhiri dengan meletakkan bunga dan doa yang dipimpin oleh Pdt. CH. Siahaan, SmTh. (yph)