Monday, September 13, 2010

Ev. Kisah Para Rasul 10:28-34 (Minggu, 5 September 2010: 14 Set Trinitatis)

Perikop di atas mengisahkan pengalaman pertemuan Petrus dengan Kornelius. Dua orang yang berasal dari latarbelakang berbeda, dan dipertemukan dalam pergaulan yang baik dan penuh kasih oleh Tuhan Allah. Petrus seorang Yahudi tulen dan keras, sedangkan Kornelius seorang pejabat tinggi Romawi, berpangkat Letnan dalam angkatan militer Romawi, seorang non-Yahudi dan juga agamawan tulen (kurang diketahui Kornelius seorang Proselit yakni sudah diterima menjadi agama Yahudi). Dalam penglihatannya disaat sedang berdoa, Kornelius mendapati seorang yang menyuruhnya untuk menjemput Simon di Yope. Berhubungan dengan penglihatan, Simon juga mengalaminya (ayat 11 – 15), dalam pengelihatannya Simon melihat kain lebar yang di di dalamnya terdapat pelbagai jenis binatang berkaki empat, binatang menjalar dan burung. Simon ditawarkan untuk memilih dan menyembelih lalu memakan di antaranya, namun Simon menolak oleh karena keteguhan dan kuatnya nilai-nilai keagamaan yang dianutnya (agama Yahudi). Akan tetapi, Tuhan berfirman padanya "Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram” (ayat 15). Pengalaman Simon ini hendak menuntun kita pada pemahaman tentang haram dan halalnya makanan. Oleh orang Yahudi ada ajaran yang mengharamkan makanan dan minuman, misalnya saja makan daging dan sekaligus minum susu dianggap haram dan akan mendatangkan dosa. Seperti dalam Kitab Suci orang Yahudi juga dengan agama Islam memakan babi dianggap haram, tapi ada penegasan bahwa kepada Isa diberikan mandat untuk menghalalkan apa yang dulu diharamkan. Maka, lewat pernyataan Tuhan dalam ayat 15 di atas jelas dinyatakan bahwa tidak ada yang haram jika Tuhan telah menyatakannya halal. Pernyataan ini sepadan dengan pernyataan Yesus dalam Matius 15:11 “Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang”. Dengan begitu, sesungguhnya tidak ada yang haram, hanya saja lewat pelbagai ajaran agama yang dipercayai manusia, manusia kemudian menyatakan dan membedakan haram dan atau halal.

Pengalaman perjumpaan Petrus dengan Kornelius, menjadi refleksi bagi perjumpaan kita dengan orang-orang yang berasal dari gereja atau agama yang berbeda dari kita saat sekarang ini. Coba kita bandingkan, ketika ada partangiangan sektor marga atau kumpulan masyarakat tertentu, kita bisa berkumpul dan melakukan ibadah bersama, padahal berasal dari denominasi gereja yang berbeda. Tetapi, mengapa kita tidak bisa nyatu di dalam satu gereja yang sama. Waktu doa nasional bisa berdoa bersama dengan agama yang berlainan, tetapi mengapa dalam kehidupan beragama sulit untuk bertemu bahkan terpisah. Ternyata agama hanya bisa menyatukan kaum atau penganutnya saja. Gereja menghimbau agar umatnya bersatu, tetapi melarang untuk melebur dengan gereja-gereja diluar denominasinya. Suatu kebodohon beragama. Saat sekarang ini di kalangan gereja di bawah payung PGI yang berkumpul menyatakan kesatuannya baru 85 gereja antar denominasi. Antara Islam dan Kristen yang terbuka dan prihatin pada kondisi di atas, telah berusaha untuk menyatukan diri dari sudut pengajaran yang sepemahaman dan berdampak baik untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Lewat dokumen “bahasa bersama” (commond word) Islam dan Kristen menjembatani kesatuan lewat ajaran kasih.

Dewasa ini di dunia, tidak lagi mengembangkan sikap toleransi beragama, tetapi sudah pada tahap lebih tinggi yaitu saling mengasihi. Toleransi yang dapat diterejewantahkan dengan rukun, dan tenggangrasa misalnya belum tentu mengandung nilai-nilai dari kasih. Rukun belum tentu berarti mengasihi. Tenggangrasa belum berarti mengasihi. Bagaimana usaha-usaha kesatuan agama ini dapat terealisasi? Jawabnya hanya dengan jika kita semua saling bergaul (Kis. 10: 28-34). Kita perhatikan dalam hal ini Petrus dan Kornelius di pertemukan dalam pergaulan yang meruntuhkan batasan-batasan sebagai jurang pemisah. Pergaulan bukan berarti memurtadkan iman seorang terhadap yang lain. Pertanyaan Petrus atas pertemuannya dengan Kornelius (ayat 29), adalah pertanyaan yang harus kita hadirkan dalam pertemuan dan pergaulan dengan agama lain untuk menghasilkan kebersamaan yang menyatukan dan indah.

Bagaimana bisa pertemuan dan pergaulan dapat tercipta antara kita dengan agama-agama yang berbeda dan atau dengan gereja-gereja yang berbeda denominasinya? Semua terletak pada kontak iman, doa dan batin. Jelas bahwa ketekunan berdoa adalah kekuatan batin yang kemudian mempertemukan Petrus dan Kornelius (ayat 30). Lewat doa, Tuhan hadir dan menyatakan dirinya untuk mendorong kita melakukan apa yang baik dan benar menghadapkan sesama manusia dengan ragam latarbelakang maupun agama. Setelah Petrus mengetahui alasan pertemuannya dengan Kornelius, kemudian Allah memakainya untuk menyatakan diriNya dan Kornelius pun menjadi percaya (ayat 32–48). Konsistensi pengalaman dalam Pengabaran Injil adalah pernyataan yang harus sama sekarang dan di masa yang akan datang.

Dari pertemuan Petrus dengan Kornelius, terdapat pengajaran untuk kita bahwa Allah tidak membedakan orang, Allah bersedia hadir bagi semua orang yang Dia inginkan. (yph)

(Bahan Renungan Kebaktian Pagi di kantor Pusat HKI yang dipimpin Ephorus/Bishop HKI).